"Dari yang diprediksi akan ada melawan kotak kosong di 160 daerah, kini menjadi sekitar 40-an saja, tapi ini masih saja banyak jumlahnya. Putusan MK Nomor 60 itu berperan krusial menekan banyaknya pilkada kotak kosong terjadi," kata Dr Panji Suminar di Bengkulu, Sabtu.
Menurut dia pada pemilihan kepala daerah belakangan ini, terutama Pilkada 2024, fenomena "borong partai politik" untuk mengusung salah satu bakal calon kepala daerah banyak terjadi.
Sementara sebelum putusan MK terbit, ambang batas partai politik agar dapat mengusung calon kepala daerah harus memenuhi minimal 25 persen suara baik dari satu maupun gabungan beberapa partai.
"Ketika aksi borong partai terjadi, tentu akan sulit sisa partai lainnya memenuhi syarat minimal 25 persen suara tersebut. Oleh karena itu, jika putusan MK itu tidak ada akan banyak sekali terjadi pilkada calon tunggal melawan kotak kosong," kata dia lagi.
Mengingat hal itu, Panji menilai sudah seharusnya memperbaiki sistem pencalonan kepala daerah, agar sosok-sosok yang berkapasitas memiliki kemudahan maju, tidak dibebankan syarat yang begitu berat akhirnya memupus kesempatan ikut berpartisipasi dalam Pilkada.
"Pertama aksi borong partai ini ke depannya sudah seharusnya dapat dicegah. Karena borong partai membuat peluang pilkada kotak kosong semakin besar, demokrasi memburuk, potensi calon yang terpilih menjadi kepala daerah ya hanya mereka yang memiliki 'kemampuan' memborong partai, tapi belum tentu dari sisi kompetensi, kapasitas dan kapabilitasnya," kata Panji.
Dari situ, lanjut Panji juga dapat berpotensi merembet pada tindakan politik uang di pilkada, peluangnya terjadi karena hasrat mendapatkan dukungan partai dalam membangun koalisi besar, maupun mengamankan suara 50 persen plus 1 dari masyarakat.
Dampak buruk lainnya, masyarakat juga akan antipati acuh tak acuh karena tidak punya pilihan dalam memilih, bahkan tidak menutup kemungkinan pemilih malah memenangkan kotak kosong yang sama saja dengan turunnya partisipasi pemilih dalam pemilu dan berdemokrasi.
Kemudian ketika terpilih, lanjut Panji fungsi kontrol di legislatif semakin melemah, kualitas pemerintahan kepemimpinan kepala daerah yang baru juga tidak terjamin, hal itu semua karena mayoritas partai politik berada dalam satu barisan koalisi yang sama.
Kemudian ketika terpilih, lanjut Panji fungsi kontrol di legislatif semakin melemah, kualitas pemerintahan kepemimpinan kepala daerah yang baru juga tidak terjamin, hal itu semua karena mayoritas partai politik berada dalam satu barisan koalisi yang sama.
"Menjadi tugas pemerintahan dan parlemen periode yang baru untuk memperbaiki regulasi, sistem pemilu, agar menutup celah-celah pilkada calon tunggal melawan kotak kosong terjadi," ujarnya.