Jakarta (Antaranews Bengkulu) - Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan adanya ketidaksesuaian keterangan saksi dari pejabat dan pegawai di Lippo Group terkait pemeriksaan dalam penyidikan kasus suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
"Karena itu, kami ingatkan pada saksi agar memberikan keterangan secara benar dan kepada pihak lain agar tidak berupaya mempengaruhi keterangan saksi-saksi tersebut," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
KPK pun mengingatkan adanya ancaman pidana pemberian keterangan yang tidak benar sebagaimana diatur di Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Selain itu juga ada ketentuan larangan melakukan perbuatan 'obstruction of justice' di Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut," kata Febri.
Sampai saat ini, sekitar 69 saksi telah diperiksa di tingkat penyidikan yang terdiri dari 12 pejabat Pemprov Jawa Barat, 17 dari pihak Pemkab Bekasi dan 40 orang dari pihak Lippo Group.
Sebelumnya, KPK juga menelusuri soal pembangunan proyek Meikarta sudah dilakukan sebelum perizinan selesai.
KPK mendalami informasi adanya indikasi "backdate" atau penanggalan mundur dalam sejumlah dokumen perizinan Meikarta, yaitu sejumlah rekomendasi sebelum penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), perizinan lingkungan, pemadam kebakaran dan lain-lain.
"Jika rekomendasi-rekomendasi tersebut tidak diproses dengan benar, maka risiko seperti masalah lingkungan seperti banjir dan lain-lain di lokasi-lokasi pembangunan properti dapat menjadi lebih tinggi," kata Febri.
KPK pun menduga persoalan perizinan Meikarta terjadi sejak awal. Misalnya masalah pada tata ruang.
"Karena itu, sebenarnya beralasan bagi pihak Pemprov, Pemkab ataupun instansi yang berwenang untuk melakukan evaluasi terhadap perizinan Meikarta," kata Febri.
KPK total telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu antara lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J) dan Kepala Dinas Pemaewdam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen "fee" fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei dan Juni 2018.
Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, Amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018
"Karena itu, kami ingatkan pada saksi agar memberikan keterangan secara benar dan kepada pihak lain agar tidak berupaya mempengaruhi keterangan saksi-saksi tersebut," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
KPK pun mengingatkan adanya ancaman pidana pemberian keterangan yang tidak benar sebagaimana diatur di Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Selain itu juga ada ketentuan larangan melakukan perbuatan 'obstruction of justice' di Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut," kata Febri.
Sampai saat ini, sekitar 69 saksi telah diperiksa di tingkat penyidikan yang terdiri dari 12 pejabat Pemprov Jawa Barat, 17 dari pihak Pemkab Bekasi dan 40 orang dari pihak Lippo Group.
Sebelumnya, KPK juga menelusuri soal pembangunan proyek Meikarta sudah dilakukan sebelum perizinan selesai.
KPK mendalami informasi adanya indikasi "backdate" atau penanggalan mundur dalam sejumlah dokumen perizinan Meikarta, yaitu sejumlah rekomendasi sebelum penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), perizinan lingkungan, pemadam kebakaran dan lain-lain.
"Jika rekomendasi-rekomendasi tersebut tidak diproses dengan benar, maka risiko seperti masalah lingkungan seperti banjir dan lain-lain di lokasi-lokasi pembangunan properti dapat menjadi lebih tinggi," kata Febri.
KPK pun menduga persoalan perizinan Meikarta terjadi sejak awal. Misalnya masalah pada tata ruang.
"Karena itu, sebenarnya beralasan bagi pihak Pemprov, Pemkab ataupun instansi yang berwenang untuk melakukan evaluasi terhadap perizinan Meikarta," kata Febri.
KPK total telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu antara lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J) dan Kepala Dinas Pemaewdam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen "fee" fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei dan Juni 2018.
Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, Amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018