Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia bersama Serikat Tani Provinsi Bengkulu mengupayakan skema peralihan izin perhutanan sosial bagi para petani kopi.

"Kita urus izin perhutanan sosial ini secara kolektif melalui AEKI," kata Ketua AEKI Bengkulu, Bebby Hussy, di Bengkulu, Sabtu.

Upaya ini, menurut dia agar para petani tak lagi bermasalah soal lahan bagi mereka yang berkebun di kawasan hutan.

"Setelah petani mendapatkan izin, baru nanti bisa membangun infrastruktur (akses ke perkebunan)," ucapnya.

Tanpa akses yang memadai membuat biaya distribusi kopi menjadi lebih mahal, sehingga harganya tidak cukup bagus bersaing dengan daerah lain.

Petani harus mengeluarkan biaya Rp500 sampai dengan Rp2.000 per kilogram kopi hanya untuk biaya angkut dari perkebunan ke tingkat pengumpul.

Biaya tersebut tentunya sangat tinggi hanya untuk keluar dari perkebunan saja, apalagi jika diakumulasikan dengan biaya distribusi ke daerah tujuan atau ekspor.

Dengan skema perhutanan sosial ini diharapkan menjadi solusi, baik mengenai daya saing komoditas kopi Bengkulu, maupun bagi kesejahteraan petani.

"Kawasan hutan di Provinsi Bengkulu mendapatkan cadangan perhutanan sosial seluas 107.254 hektare, hingga 2018 ini, capaiannya baru sekitar 50.080 hektare, artinya kita masih punya peluang untuk itu," tuturnya.

Sementara, Pelaksana tugas Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, menyebutkan bahwa kopi menjadi salah satu komoditas unggulan daerah ini.

"Kita mulai mengekspor langsung dari Bengkulu, tidak lewat provinsi lain, jika lewat provinsi lain orang malah tak tau itu kopi Bengkulu," ujarnya.

Pewarta: Boyke ledy watra

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018