Direktur Yayasan Pusat Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, Susi Handayani menilai kasus yang menimpa Audrey (14), anak perempuan korban perundungan atau bullying dan kekerasan di Pontianak, Kalimantan Barat rawan memunculkan kekerasan baru yaitu stigma yang dilontarkan publik terhadap para pelaku.

“Kasus ini harus diusut karena tidak ada pembenaran atas tindakan sekelompok anak perempuan pelajar SLTA itu, tapi juga perlu diwaspadai karena kasus ini rawan memproduksi kekerasan baru,” kata Susi di Bengkulu, Rabu.

Ia menilai, kekerasan terhadap anak perempuan oleh sekelompok perempuan pelajar SLTA tidak bisa dibenarkan dan korban harus mendapatkan pemulihan dan keadilan. 

Para pelaku menurut dia harus diproses secara hukum sehingga mereka tahu dan sadar bahwa tindakan mereka adalah salah dan melanggar hukum. 

“Permintaan maaf pelaku kepada korban harus didorong agar mendidik anak untuk bertanggung jawab pada setiap tindakan yang mereka lakukan,” ucapnya.

Namun, menurut Susi kemarahan publik pada para pelaku di beberapa media sosial juga cenderung mengarah pada kekerasan, bahkan kekerasan seksual walaupun dalam tahap ancaman. Hal ini menurut dia tidak dapat dibenarkan. 

“Mari kita mendukung korban dengan bijak tanpa harus memproduksi kekerasan baru bagi yang lain,” ujarnya.

Audrey (14) adalah seorang siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat yang dikeroyok oleh sejumlah siswi SMA.

Akibat pengeroyokan itu, Audrey mengalami trauma dan dirawat di sebuah rumah sakit. Pemicu pengeroyokan diduga akibat masalah asmara dan saling komentar di media sosial.

Kasus Audrey sempat menghebohkan dunia dengan menjadi topik utama pembicaraan di Twitter dengan tagar #JusticeForAudrey.

Pewarta: Helti Marini S

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019