Desa Melinggih Kelod di Kabupaten Gianyar, Bali, menerapkan hukum adat atau awig-awig untuk menjaga kelestarian burung jalak bali (Leucopsar rothschildi), yang populasinya di alam liar menurun drastis antara lain akibat perburuan dan penyusutan habitat.
Dalam siaran persnya, Kamis (16/5), pusat pembelajaran dan konservasi Yayasan Begawan menjelaskan hukum adat yang disahkan 8 Oktober 2018 itu mengenakan denda Rp10 juta kepada pelaku perburuan/penembakan burung jalak bali di wilayah desa.
Sementara orang dari luar desa yang kedapatan memburu atau menembak jalak bali akan dikenai denda Rp100 juta dan ancaman pidana penjara lima tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Yayasan Begawan menyatakan, "Pengesahan awig-awig menunjukkan dukungan dari masyarakat desa dan tanggung jawabnya dalam melindungi burung jalak bali."
Selain mendukung penyusunan hukum adat, Yayasan Begawan mengenalkan pentingnya konservasi kepada warga serta murid-murid sekolah taman kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Pertama di desa itu.
Yayasan optimistis penerapan hukum adat dan perubahan pola pikir warga setempat mengenai upaya konservasi bisa mencegah kepunahan jalak bali.
Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menempatkan burung jalak bali dalam kategori "kritis". Populasi burung jalak bali di alam liar menurut perkiraan tinggal kurang dari 20 pada periode 2004-2005.
Yayasan Begawan berupaya menyelamatkan spesies itu dengan melakukan penangkaran dan pelepasliaran ke alam liar.
Sepanjang 1999 sampai 2005, populasi burung jalak bali di penangkaran Yayasan tumbuh dari empat menjadi 97, dan dari tahun 2005 sampai tahun 2012, Yayasan melepasliarkan sekitar 80 Jalak Bali ke alam liar.
Namun upaya awal untuk menambah populasi burung di alam liar itu tidak sukses karena burung yang dilepaskan kemudian ditangkap oleh warga.
Kondisi itu mendorong Yayasan menjalankan konservasi bekerja sama dengan masyarakat setempat, antara lain dengan mendorong penerapan hukum adat untuk menjaga kelestarian burung jalak bali dan meningkatkan kesadaran warga mengenai pentingnya konservasi satwa tersebut.
Upaya-upaya itu membuahkan hasil memuaskan, tiga anak burung jalak bali telah lahir di alam liar, dan pola pikir warga berubah setelah merasakan kehadiran burung di alam liar.
"Saya suka melihat burung Jalak Bali berterbangan di sekitar saya, terlebih kalau mereka datang ke rumah saya! Saya tidak perlu membeli burung untuk diletakkan di kandang jika saya bisa melihat mereka berterbangan di sekitar saya," kata I Nyoman Sukadana, warga Banjar Begawan.
Yayasan berharap kesuksesan Desa Melinggih Kelod menerapkan upaya-upaya untuk menyelamatkan burung jalak bali bisa menjadi teladan bagi daerah lain di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Dalam siaran persnya, Kamis (16/5), pusat pembelajaran dan konservasi Yayasan Begawan menjelaskan hukum adat yang disahkan 8 Oktober 2018 itu mengenakan denda Rp10 juta kepada pelaku perburuan/penembakan burung jalak bali di wilayah desa.
Sementara orang dari luar desa yang kedapatan memburu atau menembak jalak bali akan dikenai denda Rp100 juta dan ancaman pidana penjara lima tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Yayasan Begawan menyatakan, "Pengesahan awig-awig menunjukkan dukungan dari masyarakat desa dan tanggung jawabnya dalam melindungi burung jalak bali."
Selain mendukung penyusunan hukum adat, Yayasan Begawan mengenalkan pentingnya konservasi kepada warga serta murid-murid sekolah taman kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Pertama di desa itu.
Yayasan optimistis penerapan hukum adat dan perubahan pola pikir warga setempat mengenai upaya konservasi bisa mencegah kepunahan jalak bali.
Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menempatkan burung jalak bali dalam kategori "kritis". Populasi burung jalak bali di alam liar menurut perkiraan tinggal kurang dari 20 pada periode 2004-2005.
Yayasan Begawan berupaya menyelamatkan spesies itu dengan melakukan penangkaran dan pelepasliaran ke alam liar.
Sepanjang 1999 sampai 2005, populasi burung jalak bali di penangkaran Yayasan tumbuh dari empat menjadi 97, dan dari tahun 2005 sampai tahun 2012, Yayasan melepasliarkan sekitar 80 Jalak Bali ke alam liar.
Namun upaya awal untuk menambah populasi burung di alam liar itu tidak sukses karena burung yang dilepaskan kemudian ditangkap oleh warga.
Kondisi itu mendorong Yayasan menjalankan konservasi bekerja sama dengan masyarakat setempat, antara lain dengan mendorong penerapan hukum adat untuk menjaga kelestarian burung jalak bali dan meningkatkan kesadaran warga mengenai pentingnya konservasi satwa tersebut.
Upaya-upaya itu membuahkan hasil memuaskan, tiga anak burung jalak bali telah lahir di alam liar, dan pola pikir warga berubah setelah merasakan kehadiran burung di alam liar.
"Saya suka melihat burung Jalak Bali berterbangan di sekitar saya, terlebih kalau mereka datang ke rumah saya! Saya tidak perlu membeli burung untuk diletakkan di kandang jika saya bisa melihat mereka berterbangan di sekitar saya," kata I Nyoman Sukadana, warga Banjar Begawan.
Yayasan berharap kesuksesan Desa Melinggih Kelod menerapkan upaya-upaya untuk menyelamatkan burung jalak bali bisa menjadi teladan bagi daerah lain di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019