Anggota Komisi I DPR Charles Honoris menegaskan bahwa sejumlah orang yang ditindak aparat penegak hukum belakangan ini adalah mereka yang melakukan fitnah, menyebar hoaks, menghasut, dan berujar kebencian, bukan pengkritik pemerintah.
"Proses hukum oleh kepolisian hendaknya tidak dipolitisir sedemikian rupa sehingga menimbulkan persepsi seolah-olah pemerintah atau Presiden Jokowi antikritik," kata Charles di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Berhasil ditangkap, ini daftar 10 pelaku penyebar hoaks terkait Aksi 22 Mei
Charles mengatakan mengkritik jelas tidak melanggar hukum, sementara memfitnah, menyebar hoaks, menghasut dan mengujarkan kebencian adalah pelanggaran hukum.
Menurut politikus PDI Perjuangan ini, ada sejumlah undang-undang yang mengatur pelanggaran itu, antara KUHP, UU ITE, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dua UU terakhir juga disetujui oleh Fraksi Gerindra yang belakangan kerap memrotes penegakan hukum atas UU tersebut, tambah anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu.
"Sekarang Gerindra punya kader-kader di DPR, jadi kalau partai besutan Prabowo itu ingin masyarakat bebas memfitnah, menyebar hoaks dan menghasut, silakan ubah UU-nya dulu," ucapnya.
Menurut Charles, penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sejumlah pihak belakangan ini adalah semata-mata demi menjalankan perintah UU.
Baca juga: Oknum PNS tersangka ujaran kebencian terancam 10 tahun penjara
"Siapa pun yang melakukan fitnah, menyebar hoaks, menghasut dan berujar kebencian akan ditindak oleh polisi. Tanpa peduli mereka pendukung 01 atau 02 atau nonpartisan sekalipun," ujarnya.
Charles berharap politisasi terhadap langkah polisi menindak para pelanggar hukum penyebar hoaks, fitnah, dan penghasutan seolah menindak para pengkritik dihentikan.
Ia mencontohkan penindakan hukum terhadap Eggi Sudjana yang kedapatan menghasut para pendukung 02 untuk melakukan keonaran dan menabrak ketentuan-ketentuan hukum. Kemudian Mustofa Nahrawardaya yang ditangkap setelah sekian banyak menyebar hoaks yang memicu keonaran masyarakat.
"Jadi, jangan sekali-kali mengaburkan berbagai pelanggaran hukum dengan satu kata bernama kritik. Apakah sekadar kritik namanya jika memfitnah, menyebar hoaks, dan mengajak orang berbuat onar, sampai akhirnya ditemukan sejumlah senjata dan rencana pembunuhan sejumlah tokoh nasional?" kata Charles.
"Di sinilah kewarasan kita semua diuji. Jangan hanya karena alasan politik, pelanggaran hukum berupa hoaks, fitnah, penghasutan dan ujaran kebencian direduksi dan disebut sebagai sekadar kritik," tambah Charles.
Baca juga: Dua pelaku ujaran kebencian diciduk, satu diantaranya pingsan saat digiring petugas
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
"Proses hukum oleh kepolisian hendaknya tidak dipolitisir sedemikian rupa sehingga menimbulkan persepsi seolah-olah pemerintah atau Presiden Jokowi antikritik," kata Charles di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Berhasil ditangkap, ini daftar 10 pelaku penyebar hoaks terkait Aksi 22 Mei
Charles mengatakan mengkritik jelas tidak melanggar hukum, sementara memfitnah, menyebar hoaks, menghasut dan mengujarkan kebencian adalah pelanggaran hukum.
Menurut politikus PDI Perjuangan ini, ada sejumlah undang-undang yang mengatur pelanggaran itu, antara KUHP, UU ITE, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dua UU terakhir juga disetujui oleh Fraksi Gerindra yang belakangan kerap memrotes penegakan hukum atas UU tersebut, tambah anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu.
"Sekarang Gerindra punya kader-kader di DPR, jadi kalau partai besutan Prabowo itu ingin masyarakat bebas memfitnah, menyebar hoaks dan menghasut, silakan ubah UU-nya dulu," ucapnya.
Menurut Charles, penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sejumlah pihak belakangan ini adalah semata-mata demi menjalankan perintah UU.
Baca juga: Oknum PNS tersangka ujaran kebencian terancam 10 tahun penjara
"Siapa pun yang melakukan fitnah, menyebar hoaks, menghasut dan berujar kebencian akan ditindak oleh polisi. Tanpa peduli mereka pendukung 01 atau 02 atau nonpartisan sekalipun," ujarnya.
Charles berharap politisasi terhadap langkah polisi menindak para pelanggar hukum penyebar hoaks, fitnah, dan penghasutan seolah menindak para pengkritik dihentikan.
Ia mencontohkan penindakan hukum terhadap Eggi Sudjana yang kedapatan menghasut para pendukung 02 untuk melakukan keonaran dan menabrak ketentuan-ketentuan hukum. Kemudian Mustofa Nahrawardaya yang ditangkap setelah sekian banyak menyebar hoaks yang memicu keonaran masyarakat.
"Jadi, jangan sekali-kali mengaburkan berbagai pelanggaran hukum dengan satu kata bernama kritik. Apakah sekadar kritik namanya jika memfitnah, menyebar hoaks, dan mengajak orang berbuat onar, sampai akhirnya ditemukan sejumlah senjata dan rencana pembunuhan sejumlah tokoh nasional?" kata Charles.
"Di sinilah kewarasan kita semua diuji. Jangan hanya karena alasan politik, pelanggaran hukum berupa hoaks, fitnah, penghasutan dan ujaran kebencian direduksi dan disebut sebagai sekadar kritik," tambah Charles.
Baca juga: Dua pelaku ujaran kebencian diciduk, satu diantaranya pingsan saat digiring petugas
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019