Menteri Agama, Lukman Saifuddin, membantah sejumlah uang yang ditemukan di ruang kerjanya terkait dengan pemilihan rektor di beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

"Uang ini kami temukan di ruang kerja bapak bersamaan dengan dokumen barang pemilihan rektor IAIN Pontianak, IAIN Aceh dan IAIN Sunan Ampel Surabaya, bagaimana penjelasannya?" tanya jaksa penuntut umum KPK, Abdul Basir, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu.

"Kebetulan saja dokumen-dokumen itu saya taruh di laci yang besar, tapi ada lemari kecil di bawah meja dan dokumen-dokumen itu sudah tidak ditindaklanjuti dan ditaruh di situ saja, tidak ada hubungan antara uang dan dokumen," jawab Saifuddin.

KPK sendiri sudah memeriksa sembilan rektor dan calon rektor universitas Islam negeri, yaitu Ali Mudlofir (PNS Kemenag/calon Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya), Masdar Hilmy (PNS Kemenag/Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya), dan Prof Akh Muzakki (PNS Kemenag/calon Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya).

Baca juga: Menag bantah terima gratifikasi Rp70 juta dari Haris Hasanuddin

Kemudian Syarif (PNS Kemenag/Rektor IAIN Pontianak), Wajidi Sayadi (PNS Kemenag/calon Rektor IAIN Pontianak), Hermansyah (PNS Kemenag/calon rektor IAIN Pontianak), Warul Walidin (PNS Kemenag/Rektor UIN Ar Raniry), Farid Wajdi Ibrahim (mantan rektor UIN Ar Raniry), dan Syahrizal (calon rektor UIN Ar Raniry).

Petugas KPK menggeledah ruang kerja Saifuddin pada 18 Maret 2019 dan menemukan uang dalam pecahan rupiah dan mata uang asing.

"Uang-uang yang ditemukan di laci meja kerja saya adalah akumulasi dari tiga sumber yaitu penerimaan yang resmi saya dapatkan, dana operasional menteri, setiap bulan saya terima tunai dana operasional menteri (DOM) dan itu sisa dari DOM saya simpan di laci meja kerja," kata dia.

Sumber dana kedua, sisa dari honorarium yang didapatkan saat melakukan kegiatan seperti membuka dan meresmikan acara.

"Ketiga sisa dari biaya perjalanan dinas baik dalam negeri maupun luar negeri, dari tiga sumber itu yang saya simpan di meja kerja saya," katanya.

Honor yang dia terima bisa didapat dalam bentuk tunai maupun non tunai. "Saya maunya honor semua non-tunai tapi tidak bisa cepat sebagian, sebagian ada yang bisa non-tunai seperti PTSP tapi ada juga yang tunai karena tergantung satuan kerjanya," kata dia.

Baca juga: Ada istilah uang "bisyaroh" dalam kasus Menag Lukman Hakim Saifuddin, nilainya Rp70 juta

"Ini juga ditemukan uang dengan tulisan: Kanwil Kemenag Jakarta dengan uang nempel ini uang apa?" tanya jaksa KPK Abdul Basir.

"Ada uang sebagian di laci, sebagian di pintu di bawah meja, biasanya kalau kaitan dengan honor amplopnya banyak sekali. Biasanya kalau sudah terlalu penuh laci meja kerja, saya buka dan kelompokkan Rp10 juta dan saya ikat dengan karet dan saya satukan dengan amplop tersendiri yang terpisah kecuali uangnya dari DOM yang jumlahnya cukup besar sudah ada kertas pengikat dari bank," kata dia.

Setelah uang dikelompokkan maka ia pun menaruh uang itu dalam amplop.

"Tapi apa amplopnya, ya bisa banyak sekali isinya; ada surat resmi, surat dinas, surat undangan, macam-macam. Sebelum ditemukan KPK belum pernah saya hitung, hanya mengumpulkan per Rp10 juta saja," kata dia.

Artinya, menurut dia, uang itu tidak ada hubungan sama sekali dengan amplop tempat penyimpanannya. "Sama sekali tidak ada hubungan uang dan amplop," kata dia.

Namun dia mengakui, keputusan pengangkatan rektor tetap ada di tangannya sebagai menteri agama.

"Rektor diusulkan senat, lalu diserahkan ke komite seleksi yang terdiri dari guru besar yang lalu menyeleksi seluruh nama calon rektor dan komite seleksi menyeleksi tiga besar nama terbaik lalu menteri memilih satu dari tiga nama itu," kata dia.

Baca juga: Menteri Agama diperiksa lagi di KPK
Baca juga: Kata KPK, Rp10 juta dari Menag itu honor tambahan

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019