Pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan ekonomi sering kali bersinggungan dan berkejaran satu sama lain. Di kala upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, eksploitasi masif terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam menjadi tak terelakkan.

Dilema seperti dua sisi koin ini seharusnya dapat diatasi oleh kepemimpinan Indonesia yang baru untuk periode 2019-2024. Kepemimpinan yang baru dituntut untuk tidak semata-mata mengejar pundi-pundi pertumbuhan ekonomi bangsa dan mengesampingkan dampak buruk pembangunan ekonomi bagi keberlanjutan dan perbaikan lingkungan hidup serta perlindungan sumber daya alam. Justru, itu menjadi tantangan yang harus dapat ditemukan solusinya untuk dapat menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam sekaligus meningkatkan ekonomi bangsa.

Beragam pekerjaan rumah di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam harus segera dituntaskan kepemimpinan Indonesia pada masa mendatang. Pekerjaan rumah tersebut antara lain pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal, izin pertambangan, pabrik semen, revisi atau rancangan undang-undang menyangkut hak kelola rakyat atas ruang hidupnya, konflik serta kriminalisasi.

Sesuai visi dan misi saat kampanye Pemilihan Presiden 2019, Capres Joko Widodo dan Cawapres Ma'ruf Amin, maka kedua pihak sepakat untuk mencapai lingkungan hidup berkelanjutan, yang meliputi pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim dan penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup.

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi, negara harus hadir menjamin dan memberikan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat kepada setiap warga negara Indonesia dan pembangunan ekonomi Indonesia yang tangguh yang berwawasan lingkungan hidup.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Teguh Masbro menyoroti jika ekstraksi sumber daya alam sebesar-besarnya digunakan untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi, maka keamanan dan perlindungan lingkungan akan terabaikan meskipun sangat disadari intensitas bencana terus meningkat seiring dengan buruknya kualitas lingkungan hidup.

Berbagai kebijakan penting terkait perlindungan lingkungan dalam menopang pertumbuhan ekonomi akan segera kadaluarsa seperti Inpres Moratorium hutan pada Juli 2019, restorasi gambut pada Desember 2020, moratorium sawit hampir 10 bulan berjalan terseok-seok dan negara rugi besar karena sejumlah pengusaha tak bayar pajak, konflik, dan sebagainya, karena ada jutaan hektar sawit ilegal.

Kepemimpinan yang baru harus menunjukkan kepada publik rancangan strategi menyikapi situasi mendesak tersebut, sehingga memberikan nilai tambah bagi keberlanjutan dan perbaikan lingkungan hidup, jangan sekadar berpolemik dengan berbagai kebijakan kontroversi antara lingkungan hidup dan upaya penggenjotan ekonomi.

"Harapannya tentu si presiden terpilih harus lebih berani dan memiliki 'political leadership' (kepemimpinan politik) yang jelas dalam pelestarian lingkungan hidup," ujar Teguh kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (27/6).

Hal-hal mendesak dalam 100 hari pertama antara lain memastikan berlanjutnya komitmen perlindungan hutan tersisa dan perbaikan tata kelola melalui kebijakan permanen moratorium hutan sebagaimana janji presiden dan menteri terkait.

Kemudian, presiden-cawapres mendatang diharapkan untuk memastikan restorasi gambut terus berlanjut pasca-2020 dengan rencana aksi yang lebih agresif.

Kepemimpinan yang baru nanti juga didorong untuk mengakselarasi implementasi moratorium sawit dan mencegah penggelapan pajak.

Begitu juga penegakan hukum yang proporsional dan tepat sasaran khususnya bagi korporasi yang merusak lingkungan dan menjalankan bisnis tanpa izin harus semakin ditingkatkan.

Presiden dan wakil presiden yang memimpin Indonesia mendatang juga harus memberikan perlindungan terhadap petani dan memperjelas Undang-undang perlindungan masyarakat hukum adat.

Menurut Juru Kampanye Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rakhman, pemerintah Indonesia ke depan harus lebih bijak dalam mengeluarkan kebijakan dan meastikan pertimbangan akan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dikedepankan.

Dia menekankan perlunya keberanian presiden dan wakil presiden yang baru untuk melakukan moratorium eksploitasi sumber daya alam untuk jangka waktu 25-30 tahun. Karena moratorium tersebut adalah kesempatan untuk memperbaiki lingkungan yang selama ini telah mengalami kerusakan atau penurunan daya dukung.

Lebih dari itu, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan aksi untuk bumi, misalnya komitmen penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen yang tertuang dalam kesepakatan Paris, harus betul dijalankan dan juga harus menyampaikan ke publik atas pencapaian komitmen dan aksi tersebut.

Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis Indonesia (Huma) Dahniar Adriani menuturkan keberpihakan pada hak kelompok marginal baik masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal harus ada karena mereka juga merupakan bagian dari penggerak kemajuan bangsa.

Kabinet dari kepemimpinan yang baru juga harus mempunyai visi dan misi yang searah dan mendukung keberlanjutan lingkungan hidup dan pelestarian sumber daya alam serta entitas yang terlibat di dalamnya.

"Kepimimpinan baru hendaknya tetap mengedepankan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia khususnya tanpa kecuali," ujar Dahniar.

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) Indonesia mencatat sebanyak 326 konflik sumber daya alam dan agraria terjadi di Indonesia hingga Desember 2018.

Konflik-konflik tersebut berlangsung di 158 kabupaten dan kota di 32 provinsi dengan luas areal 2.101.858,221 hektar dan melibatkan 286.631 jiwa korban, yang terdiri atas 176.337 jiwa masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal. Konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia.

"Ketika masyarakat hukum adat akhirnya berhasil mendapatkan penetapan hutan adat, belum tentu serta merta mereka dapat langsung menikmati hak tradisional mereka. Penyelesaian konflik dengan pihak lain menyebabkan hak tradisional masyarakat hukum adat belum terjamin," tuturnya.

Para menteri yang nantinya akan ditunjuk oleh presiden dan wakil presiden yang dilantik diharapkan memiliki rekam jejak dan komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

"Program-program terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam yang selama ini ada seyogyanya dipertahankan dan ditingkatkan seperti pengendalian kebakaran hutan dan lahan, tata kelola gambut dan pemulihan lahan gambut, moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, peninjauan perizinan sawit, dan perhutanan sosial," kata Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law Henri Subagiyo.

Menurut Henri, penguatan penegakan hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam juga menjadi penting untuk memberikan efek jera bagi para pelaku pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang selama ini masih memerlukan perhatian lebih.

Pewarta: Martha Herlinawati S

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019