Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pasangan calon terpilih dalam Pilpres 2019 pada hari Minggu (30/6) di Jakarta.
Setelah ditetapkan, Joko Widodo akan disibukkan dengan agenda selanjutnya, yakni menyusun dan memilih menteri yang akan duduk di Kabinet Kerja jilid II.
Mantan Wali Kota Surakarta itu memiliki waktu kurang dari 4 bulan untuk menyusun kabinet hingga dirinya dilantik sebagai kepala negara pada tanggal 20 Oktober 2019.
Presiden Joko Widodo sebelumnya memberikan gambaran kabinet selanjutnya yang akan fokus pada tiga hal meliputi penguatan fondasi untuk penyelesaian proyek infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, dan reformasi birokrasi.
Sebagai negara besar, kata Jokowi, Indonesia memerlukan fondasi yang kuat agar bisa bersaing dengan negara-negara lain.
"Fondasi itu diperlukan dalam rangka kompetisi kita dengan negara-negara lain dan saya melihat memang kenapa kita 5 tahun ke belakang fokus pada infrastruktur karena stok infrastruktur, kita lihat memang masuk baru pada angka 37 persen," kata Jokowi.
Jokowi dalam beberapa kesempatan mengaku akan lebih mengutamakan kemampuan eksekusi dan manajerial dalam menunjuk menteri untuk periode 2019 s.d. 2024.
Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu, kemampuan eksekusi diperlukan untuk menuntaskan program kerja.
Kemampuan manajerial diperlukan untuk mengelola ekonomi makro dan mikro, di samping memiliki integritas dan kapabilitas.
Pengalaman Jokowi dalam membentuk kabinet pertama pada tahun 2014 akan menjadi modal yang kuat dalam menyeleksi calon menteri.
Pengamat politik Prof. Siti Zuhro mengatakan bahwa 5 tahun lalu pembentukan kabinet pertama dinilai lebih ruwet dengan adanya rumah transisi terlebih dahulu hingga diwarnai penundaan pengumuman.
Saat ini, lanjut dia, Presiden Jokowi dinilai akan lebih percaya diri membentuk kabinet kedua karena sudah mengetahui peta kekuatan politik dengan mengantongi pengalaman sebelumnya.
Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menambahkan bahwa Presiden Jokowi akan mempertimbangkan dengan matang dan komprehensif untuk memilih para pembantunya.
Sekarang jauh lebih banyak pertimbangan, tujuannya untuk mengejar ketertinggalan yang masih belum terimplementasikan sesuai substansi dengan maksimal.
Senada dengan Siti Zuhro, pengamat politik Adi Prayitno berharap Presiden Jokowi lebih independen dan tanpa beban dalam menentukan calon-calon yang akan mengisi kursi menteri.
Saat ini, lanjut dia, Jokowi dinilai memiliki modal sosial politik yang memadai dengan didukung partai politik, sukarelawan, dan memiliki “jangkar” yang kuat selama 5 tahun dalam memimpin negeri ini.
Hal itu juga sesuai dengan hak istimewa yang dimiliki seorang presiden, yakni hak prerogatif di tengah partai politik yang menjadi pendukung Koalisi Indonesia Kerja.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu mendorong Presiden Jokowi untuk memilih menteri yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk mempercepat pembangunan.
“Intinya Presiden Jokowi jangan pernah takut memilih calon menteri sekalipun akan diprotes partai koalisi. Itu hak prerogatif, lebih otonom sekarang dan lebih kuat ditambah dukungan rakyat,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.
Komposisi Menteri
Pada kabinet Indonesia Kerja jilid I, Presiden Joko Widodo menyusun 34 menteri yang berisi kalangan profesional dan partai politik pendukung koalisi.
Untuk periode kedua ini, Adi Prayitno berpendapat agar tidak ada latah dengan wacana menteri berusia muda karena figur muda yang populer belum tentu sejalan dengan pengalaman dan kompetensi dalam pemerintahan.
Terkait dengan komposisi menteri kabinet jilid kedua, Adi memperkirakan masih akan tetap mengawinkan profesional dan partai politik.
Namun, dia memprediksi mayoritas kursi menteri akan diisi kalangan partai politik karena kontribusi yang besar diberikan dalam kontestasi Pilpres 2019.
“Saya menduga jika 34 menteri, hampir 50 persen lebih akan didominasi unsur parpol, apalagi banyak parpol yang tidak lolos, juga diakomodasi,” katanya.
Dalam memilih menteri, kata dia, dilakukan secara hati-hati dan selektif agar menteri-menteri yang nantinya duduk di kabinet dapat sejalan dengan visi dan misi Jokowi-Ma’ruf.
Senada dengan Adi, Siti Zuhro berharap menteri dalam kabinet nanti dipilih berdasarkan kualifikasi, dedikasi, dan integritas, bukan berdasarkan latar belakang usia.
Ia memprediksi kabinet jilid kedua ini akan diisi dua per tiga menteri baru atau sekitar 22 orang jika jumlah kursi di kabinet sama dengan kabinet jilid pertama.
Alasannya, kata dia, Presiden Jokowi harus melakukan evaluasi terhadap menteri lama, terlebih bagi mereka yang dianggap tidak loyal dan tidak memiliki integritas, khususnya yang tersangkut kasus korupsi.
Sementara itu, pendapat berbeda diungkapkan pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan Dr. Emrus Sihombing yang mengharapkan agar kalangan usia muda, sekalipun dari partai, diutamakan duduk di kursi menteri.
Ia beralasan calon menteri usia muda memiliki kreativitas dan lebih cepat sejalan dengan Revolusi Industri 4.0.
Direktur Eksekutif Emrus Corner itu juga mengarapkan kabinet jilid II lebih banyak diisi menteri dari kalangan profesional murni, bukan dari kalangan profesional partai yang masih memiliki hubungan sosiologis informal.
Koalisi Terukur
Saat ini, upaya rekonsiliasi tengah digodok yang rencananya akan mempertemukan Joko Widodo-Prabowo Subianto
Selain itu, “kasak-kusuk” beberapa partai politik di luar koalisi juga dikabarkan akan merapat ke kubu Jokowi.
Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Usman Kasong, mengatakan bahwa jika sepakat rekonsilisasi, akan diketahui peta politik yang secara tidak langsung juga menentukan peta di kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Dengan demikian, apabila partai politik di luar koalisi bergabung, koalisi saat ini akan membengkak dan berpengaruh pada jatah kursi menteri.
Meski demikian, Presiden tetap memiliki hak prerogatif dan diperkirakan jumlah menteri kabinet jilid II tidak akan jauh berbeda dengan periode 2014 s.d. 2019 sebanyak 34 menteri.
“Makanya, nanti akan ditimang kalau koalisi gemuk akan merepotkan juga. Makanya, koalisinya akan terukur juga,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (nonaktif) Puan Maharani mengatakan bahwa partai banteng bermoncong putih itu tidak obral jatah menteri meski sebagai pemenang dalam Pemilu Anggota DPR RI 2019.
Ia juga menampik ada bagi-bagi jatah menteri dalam proses rekonsilisasi tersebut karena penentuan menteri sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Terkait dengan rekonsiliasi, lanjut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu, dapat dimulai dengan silaturahmi untuk membangun bangsa dan negara.
Meski demikian, lanjut Puan, hal itu perlu dilandasi dengan niat yang baik atau good will demi Indonesia.
Menentukan posisi menteri di kabinet memang tidak mudah. Mereka harus bersih, berintegritas, dipilih secara cermat dan bisa dikendalikan, tentunya oleh presiden selaku atasan.
Jangan sampai, pembantu presiden tersebut justru lebih banyak menjadi petugas partai, lebih patuh dengan ketua umum partainya, atau bahkan menjadi "benalu" dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Setelah ditetapkan, Joko Widodo akan disibukkan dengan agenda selanjutnya, yakni menyusun dan memilih menteri yang akan duduk di Kabinet Kerja jilid II.
Mantan Wali Kota Surakarta itu memiliki waktu kurang dari 4 bulan untuk menyusun kabinet hingga dirinya dilantik sebagai kepala negara pada tanggal 20 Oktober 2019.
Presiden Joko Widodo sebelumnya memberikan gambaran kabinet selanjutnya yang akan fokus pada tiga hal meliputi penguatan fondasi untuk penyelesaian proyek infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, dan reformasi birokrasi.
Sebagai negara besar, kata Jokowi, Indonesia memerlukan fondasi yang kuat agar bisa bersaing dengan negara-negara lain.
"Fondasi itu diperlukan dalam rangka kompetisi kita dengan negara-negara lain dan saya melihat memang kenapa kita 5 tahun ke belakang fokus pada infrastruktur karena stok infrastruktur, kita lihat memang masuk baru pada angka 37 persen," kata Jokowi.
Jokowi dalam beberapa kesempatan mengaku akan lebih mengutamakan kemampuan eksekusi dan manajerial dalam menunjuk menteri untuk periode 2019 s.d. 2024.
Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu, kemampuan eksekusi diperlukan untuk menuntaskan program kerja.
Kemampuan manajerial diperlukan untuk mengelola ekonomi makro dan mikro, di samping memiliki integritas dan kapabilitas.
Pengalaman Jokowi dalam membentuk kabinet pertama pada tahun 2014 akan menjadi modal yang kuat dalam menyeleksi calon menteri.
Pengamat politik Prof. Siti Zuhro mengatakan bahwa 5 tahun lalu pembentukan kabinet pertama dinilai lebih ruwet dengan adanya rumah transisi terlebih dahulu hingga diwarnai penundaan pengumuman.
Saat ini, lanjut dia, Presiden Jokowi dinilai akan lebih percaya diri membentuk kabinet kedua karena sudah mengetahui peta kekuatan politik dengan mengantongi pengalaman sebelumnya.
Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menambahkan bahwa Presiden Jokowi akan mempertimbangkan dengan matang dan komprehensif untuk memilih para pembantunya.
Sekarang jauh lebih banyak pertimbangan, tujuannya untuk mengejar ketertinggalan yang masih belum terimplementasikan sesuai substansi dengan maksimal.
Senada dengan Siti Zuhro, pengamat politik Adi Prayitno berharap Presiden Jokowi lebih independen dan tanpa beban dalam menentukan calon-calon yang akan mengisi kursi menteri.
Saat ini, lanjut dia, Jokowi dinilai memiliki modal sosial politik yang memadai dengan didukung partai politik, sukarelawan, dan memiliki “jangkar” yang kuat selama 5 tahun dalam memimpin negeri ini.
Hal itu juga sesuai dengan hak istimewa yang dimiliki seorang presiden, yakni hak prerogatif di tengah partai politik yang menjadi pendukung Koalisi Indonesia Kerja.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu mendorong Presiden Jokowi untuk memilih menteri yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk mempercepat pembangunan.
“Intinya Presiden Jokowi jangan pernah takut memilih calon menteri sekalipun akan diprotes partai koalisi. Itu hak prerogatif, lebih otonom sekarang dan lebih kuat ditambah dukungan rakyat,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.
Komposisi Menteri
Pada kabinet Indonesia Kerja jilid I, Presiden Joko Widodo menyusun 34 menteri yang berisi kalangan profesional dan partai politik pendukung koalisi.
Untuk periode kedua ini, Adi Prayitno berpendapat agar tidak ada latah dengan wacana menteri berusia muda karena figur muda yang populer belum tentu sejalan dengan pengalaman dan kompetensi dalam pemerintahan.
Terkait dengan komposisi menteri kabinet jilid kedua, Adi memperkirakan masih akan tetap mengawinkan profesional dan partai politik.
Namun, dia memprediksi mayoritas kursi menteri akan diisi kalangan partai politik karena kontribusi yang besar diberikan dalam kontestasi Pilpres 2019.
“Saya menduga jika 34 menteri, hampir 50 persen lebih akan didominasi unsur parpol, apalagi banyak parpol yang tidak lolos, juga diakomodasi,” katanya.
Dalam memilih menteri, kata dia, dilakukan secara hati-hati dan selektif agar menteri-menteri yang nantinya duduk di kabinet dapat sejalan dengan visi dan misi Jokowi-Ma’ruf.
Senada dengan Adi, Siti Zuhro berharap menteri dalam kabinet nanti dipilih berdasarkan kualifikasi, dedikasi, dan integritas, bukan berdasarkan latar belakang usia.
Ia memprediksi kabinet jilid kedua ini akan diisi dua per tiga menteri baru atau sekitar 22 orang jika jumlah kursi di kabinet sama dengan kabinet jilid pertama.
Alasannya, kata dia, Presiden Jokowi harus melakukan evaluasi terhadap menteri lama, terlebih bagi mereka yang dianggap tidak loyal dan tidak memiliki integritas, khususnya yang tersangkut kasus korupsi.
Sementara itu, pendapat berbeda diungkapkan pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan Dr. Emrus Sihombing yang mengharapkan agar kalangan usia muda, sekalipun dari partai, diutamakan duduk di kursi menteri.
Ia beralasan calon menteri usia muda memiliki kreativitas dan lebih cepat sejalan dengan Revolusi Industri 4.0.
Direktur Eksekutif Emrus Corner itu juga mengarapkan kabinet jilid II lebih banyak diisi menteri dari kalangan profesional murni, bukan dari kalangan profesional partai yang masih memiliki hubungan sosiologis informal.
Koalisi Terukur
Saat ini, upaya rekonsiliasi tengah digodok yang rencananya akan mempertemukan Joko Widodo-Prabowo Subianto
Selain itu, “kasak-kusuk” beberapa partai politik di luar koalisi juga dikabarkan akan merapat ke kubu Jokowi.
Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Usman Kasong, mengatakan bahwa jika sepakat rekonsilisasi, akan diketahui peta politik yang secara tidak langsung juga menentukan peta di kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Dengan demikian, apabila partai politik di luar koalisi bergabung, koalisi saat ini akan membengkak dan berpengaruh pada jatah kursi menteri.
Meski demikian, Presiden tetap memiliki hak prerogatif dan diperkirakan jumlah menteri kabinet jilid II tidak akan jauh berbeda dengan periode 2014 s.d. 2019 sebanyak 34 menteri.
“Makanya, nanti akan ditimang kalau koalisi gemuk akan merepotkan juga. Makanya, koalisinya akan terukur juga,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (nonaktif) Puan Maharani mengatakan bahwa partai banteng bermoncong putih itu tidak obral jatah menteri meski sebagai pemenang dalam Pemilu Anggota DPR RI 2019.
Ia juga menampik ada bagi-bagi jatah menteri dalam proses rekonsilisasi tersebut karena penentuan menteri sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Terkait dengan rekonsiliasi, lanjut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu, dapat dimulai dengan silaturahmi untuk membangun bangsa dan negara.
Meski demikian, lanjut Puan, hal itu perlu dilandasi dengan niat yang baik atau good will demi Indonesia.
Menentukan posisi menteri di kabinet memang tidak mudah. Mereka harus bersih, berintegritas, dipilih secara cermat dan bisa dikendalikan, tentunya oleh presiden selaku atasan.
Jangan sampai, pembantu presiden tersebut justru lebih banyak menjadi petugas partai, lebih patuh dengan ketua umum partainya, atau bahkan menjadi "benalu" dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019