Pada suasana Idul Adha 2019 ini masih banyak ditemui warga yang mencuci jeroan hewan kurban di aliran Selokan Mataram di Kabupaten Sleman, Minggu siang, meskipun sebelumnya sudah banyak imbauan yang telah disampaikan instansi berwenang agar kegiatan itu tidak dilakukan.
Salah satu titik yang banyak ditemui warga mencuci jeroan di selokan, yakni di aliran Selokan Mataram di kawasan Desa Trihanggo, Gamping.
Di sekitar tempat tersebut ada sedikitnya empat kelompok masyarakat yang mencuci jeroan hewan kurban. Padahal air di Selokan Mataram tampak keruh dan banyak sampah tersangkut ataupun hanyut.
"Setiap tahun jeroan hewan kurban selalu dicuci di selokan. Tidak apa-apa, karena nanti bila mau dimasak pasti dicuci lagi," kata Eko Saputra (25), warga Mranggen, Margodadi, Seyegan saat mencuci jeroan bersama delapan orang panitia kurban lain di Selokan Mataram.
Menurut dia, alasan mencuci di selokan karena lebih praktis dan air juga mengalir melimpah. Selain itu, kotoran yang ada di jeroan akan langsung hanyut terbawa arus Selokan Mataram.
"Apalagi jumlah hewan kurban yang disembelih sebanyak tiga ekor sapi dan sembilan ekor kambing. Kalau dibersihkan di masjid tidak ada lahan," katanya.
Hal sama dikatakan Wirawan (45), warga Nambungan, Tlogoadi, Mlati, yang juga melakukan hal serupa, mencuci jeroan di di Selokan Mataram bersama puluhan remaja masjid kampungnya.
"Baru kali ini di Selokan Mataram karena biasanya di Sungai Bedog, tapi saat ini debit airnya sedang turun," katanya.
Wirawan mengatakan kegiatan mencuci jeroan di Selokan Mataram tidak akan menimbulkan pencemaran. Justru hal ini merupakan salah satu upaya untuk memberi makan ikan.
"Bukan pencemaran, ini untuk makan ikan yang hidup di aliran selokan. Saya tahu ini waktu di Sungai Progo," katanya.
Ia mengatakan, jeroan yang sudah dicuci tersebut langsung dibagikan kepada warga, tanpa dicuci kembali.
"Nanti langsung dibagikan, ini sudah bersih," katanya.
Menurut dia, tahun ini di dusunnya ada enam ekor sapi dan 19 ekor kambing yang disembelih untuk dibagikan kepada 200-an kepala keluarga (KK).
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan (DP3) Kabupaten Sleman, DIY, Harjanto, mengatakan sejak dari jauh-jauh hari pihaknya telah menyosialisasikan ke masyarakat untuk tidak mencuci jeroan di sungai, karena belum tentu air sungai itu bersih.
"Dampaknya juga mencemari air sungai. Sungai itu digunakan untuk pertanian, kadang juga untuk mandi," katanya.
Menurut dia, selain mencemari sungai, daging juga akan ikut terkontaminasi dan bisa menyebabkan diare.
"Seharusnya disediakan lubang khusus untuk membersihkan jeroan. Isi jeroan itu bisa dimanfaatkan sebagai materi dasar pebuatan pupuk kompos organik. Jadi tidak perlu dibuang di sungai," katanya.
Harjanto mengatakan, tahun ini pihaknya menerjunkan 303 petugas untuk memantau kegiatan kurban selama tiga hari.
"Petugas selain dari dinas juga menggandeng perguruan tinggi. Mereka ditempatkan di lokasi pemotongan hewan kurban, seperti masjid atau musala," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Salah satu titik yang banyak ditemui warga mencuci jeroan di selokan, yakni di aliran Selokan Mataram di kawasan Desa Trihanggo, Gamping.
Di sekitar tempat tersebut ada sedikitnya empat kelompok masyarakat yang mencuci jeroan hewan kurban. Padahal air di Selokan Mataram tampak keruh dan banyak sampah tersangkut ataupun hanyut.
"Setiap tahun jeroan hewan kurban selalu dicuci di selokan. Tidak apa-apa, karena nanti bila mau dimasak pasti dicuci lagi," kata Eko Saputra (25), warga Mranggen, Margodadi, Seyegan saat mencuci jeroan bersama delapan orang panitia kurban lain di Selokan Mataram.
Menurut dia, alasan mencuci di selokan karena lebih praktis dan air juga mengalir melimpah. Selain itu, kotoran yang ada di jeroan akan langsung hanyut terbawa arus Selokan Mataram.
"Apalagi jumlah hewan kurban yang disembelih sebanyak tiga ekor sapi dan sembilan ekor kambing. Kalau dibersihkan di masjid tidak ada lahan," katanya.
Hal sama dikatakan Wirawan (45), warga Nambungan, Tlogoadi, Mlati, yang juga melakukan hal serupa, mencuci jeroan di di Selokan Mataram bersama puluhan remaja masjid kampungnya.
"Baru kali ini di Selokan Mataram karena biasanya di Sungai Bedog, tapi saat ini debit airnya sedang turun," katanya.
Wirawan mengatakan kegiatan mencuci jeroan di Selokan Mataram tidak akan menimbulkan pencemaran. Justru hal ini merupakan salah satu upaya untuk memberi makan ikan.
"Bukan pencemaran, ini untuk makan ikan yang hidup di aliran selokan. Saya tahu ini waktu di Sungai Progo," katanya.
Ia mengatakan, jeroan yang sudah dicuci tersebut langsung dibagikan kepada warga, tanpa dicuci kembali.
"Nanti langsung dibagikan, ini sudah bersih," katanya.
Menurut dia, tahun ini di dusunnya ada enam ekor sapi dan 19 ekor kambing yang disembelih untuk dibagikan kepada 200-an kepala keluarga (KK).
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan (DP3) Kabupaten Sleman, DIY, Harjanto, mengatakan sejak dari jauh-jauh hari pihaknya telah menyosialisasikan ke masyarakat untuk tidak mencuci jeroan di sungai, karena belum tentu air sungai itu bersih.
"Dampaknya juga mencemari air sungai. Sungai itu digunakan untuk pertanian, kadang juga untuk mandi," katanya.
Menurut dia, selain mencemari sungai, daging juga akan ikut terkontaminasi dan bisa menyebabkan diare.
"Seharusnya disediakan lubang khusus untuk membersihkan jeroan. Isi jeroan itu bisa dimanfaatkan sebagai materi dasar pebuatan pupuk kompos organik. Jadi tidak perlu dibuang di sungai," katanya.
Harjanto mengatakan, tahun ini pihaknya menerjunkan 303 petugas untuk memantau kegiatan kurban selama tiga hari.
"Petugas selain dari dinas juga menggandeng perguruan tinggi. Mereka ditempatkan di lokasi pemotongan hewan kurban, seperti masjid atau musala," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019