Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Kalah jadi abu, menang jadi arang, pepatah yang pas buat melukiskan sepak terjang bandit-bandit sepak bola negeri ini. Ganjarannya, sanksi dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).  

Aneka sumpah serapah terburai sebagai ungkapan laknat atas perilaku dua kubu berseteru, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).

Sanksi dari FIFA di pelupuk mata. Bukan sekedar melulu mencoret kata "kalau" sanksi FIFA tiba, tetapi kini krisis menanti, bagaikan menanti sosok Godot garapan sastrawan Samuel Beckett.

Kalau pun tokoh Vladimir menunjukkan keputusasaan setelah tiada henti menanti Godot, maka ada pernyataan paripurna ketika merespons kisruh sepak bola nasional. "Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di sini (We've nothing more to do here)," kata Vladimir.

Pelakon lainnya, Estragon lebih menunjukkan masa depan suram atau madesu. "Di mana-mana sama saja," katanya. Tidak perlu menuding bahwa Estragon mengajar pesimisme di "sekolah optimisme". Toh, kenyataan, "Yang inti justru tidak berubah (The essential doesn't change)," kata Vladimir.

Estragon dan Vladimir dalam peta pemikiran Beckett adalah peta dari onggokan kebobrokan dan ketidaktegasan merespons Godot bernama prestasi sepak bola nasional, bahkan boleh jadi peta kecil dari sengkarut pengelolaan negeri.

Pernyataan Estragon benar, pernyataan Vladimir lebih benar lagi, ketika keduanya menyambangi perpecahan tiada usai antara PSSI dan KPSI dengan kontan bayaran sanksi FIFA.

Setelah menyaksikan aksi bandit-bandit sepak bola Indonesia merontokkan "fair play", maka FIFA mengirimkan surat tertanggal 26 November. Surat ditandatangani Sekjen Jerome Valcke untuk menyelesaikan dualisme kompetisi dan kepengurusan organisasi sepak bola Indonesia.

FIFA memberi tenggat waktu kepada Indonesia hingga 10 Desember untuk menyelesaikan aksi berebut lapak, meminjam istilah kerennya "dualisme organisasi". Bila masih saja saling ngotot tidak berbuah sepakat, FIFA akan mengeluarkan sanksi ketika Federasi Sepak Bola Dunia ini menggelar pertemuan di Tokyo, 14 Desember 2012.

Sepak bola Indonesia menjadi pesakitan lantaran ulah PSSI dan KPSI. Layaknya organisasi bandit, yang memberlakukan sejumlah ketentuan misalnya pasang badan atau bersedia jadi bumper terhadap atasan, memiliki keberanian membela sang bos, dan memeluk kemudian menerapkan aneka taktik menjatuhkan lawan, kedua organisasi itu menuai badai dengan menjadi bulan-bulanan media massa.

Setiap makan siang tidak ada yang gratis. Setiap tindakan menuntut tindakan selanjutnya. Masih mbalelo bergerilya mempertahankan pendapat sendiri tanpa mau tahu kondisi sepak bola nasional, kini sanksi FIFA tinggal menghitung hari.

Mantan Ketua Umum PSSI, Agung Gumelar, menilai sepak bola Indonesia makin dekat dengan sanksi FIFA. "Mereka (PSSI dan KPSI) sudah dipanggil. Tapi, ketika dipanggil, dicapai semua kesepakatan, tapi besoknya mentah lagi. Kemudian berlanjut masing-masing menggelar kongres, di Palangkaraya dan di Jakarta," kata Gumelar di Jakarta, Selasa (11/12).

Lonceng kematian siap berdentang, dan bunyinya mengorek nurani seluruh rakyat Indonesia yang mengasihi sepak bola sebagai laga bola, bukan sepak bola sebagai laga kompetisi politik.

Tidak perlu mengutarakan siapa organisasi yang benar, siapa yang keblinger. Jika terkena "suspend" FIFA, Indonesia bakal terdepak dari kancah sepak bola internasional, terlempar dari planet sepak bola sejagat. Skuad "Garuda" tidak boleh tampil di ajang Pra-Piala Asia 2015 mulai 6 Februari 2013, dan SEA Games.

Setali tiga uang atas sanksi FIFA itu, Semen Padang dan Persikabo tidak bisa berlaga di AFC Cup tahun depan. Dengan catatan, kalau sanksi FIFA itu hanya setahun.

Tidak ingin tersandera bayang-bayang Godot bernama sanksi FIFA, Kementerian Pemuda dan Olahraga membentuk tim task force konflik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Tim dibentuk untuk menyelesaikan sejumlah persoalan dualisme dalam sepak bola Indonesia.

Tim task force mengemban tiga tugas pokok, yaitu menggelar konsultasi dengan FIFA untuk menghindari sanksi terhadap Indonesia. Selain itu, mereka akan melakukan langkah-langkah terhadap organisasi dan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi apabila Indonesia diberi sanksi.

"Task force" juga akan melakukan pembicaraan dengan FIFA dan AFC mengenai kemungkinan pemerintah menggunakan kewenangannya. Hal itu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.

Tim task force dibentuk setelah Pejabat Sementara Menpora, Agung Laksono, mengadakan rapat dengan sejumlah tokoh olahraga nasional, Selasa petang. Tim yang akan diketuai Rita Subowo itu terdiri empat anggota, yakni Mantan Ketua Umum PSSI Agum Gumelar, Ketua KONI Tono Suratman, Sekretaris Kemenpora Yuli Mumpuni, dan Deputi I Kemenpora Djoko Pekik.

Bagaimana kans tim task force? Usaha tim task force bagaikan menggenapi ujaran khas Betawi "namanye usahe", meski ada kalangan yang menyebutnya sebagai bagaikan usaha menegakkan benang basah, bahkan masih memegang teguh argumentasi pendiriannya. Situasinya sudah di ambang sanksi, kok masih saja mengutarakan pernyataan pembelaan diri.

"Apa pun, kami sambut baik kalau mau menyelesaikan persoalan sepak bola ini. Yang terpenting mereka patuh terhadap Undang-Undang Keolahragaan yang berlaku saat ini," kata Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin.

Di tengah ancaman sanksi FIFA masih ada saja terpapar pernyataan serba paradoks, menyetujui upaya sembari menciptakan perbedaan-perbedaan.

Kalau saja PSSI dan KPSI terus menistakan satu sama lain dengan menganggap suara yang berseberangan sebagai "suara-suara berisik", maka keduanya berhadapan dengan pertanyaan, bagaimana sistem hukum merespons tuntutan keadilan yang datang dari lingkungan?

Apa pun dan bagaimanapun baiknya sebuah sistem hukum, tidak akan mampu menjawab persoalan keadilan secara memuaskan. Pernyataan itu mencetuskan sikap tidak peka PSSI dan KPSI dengan situasi dan kondisi sepak bola Indonesia. Di mata pemikir Jacques Derrida, setiap paradoks memuat kontradiksi, tetapi tidak semua kontradiksi adalah paradoks.

Menghadapi dua kubu antara "yang benar" dan "yang keliru", filsuf Yunani Aristoteles mengutarakan sebuah kontradiksi, bahwa pendapat mengenai yang benar dan yang keliru, pada pokoknya menghancurkan diri sendiri. PSSI dan KPSI sama-sama menghancurkan diri sendiri karena mencari "yang absurd".

Absurditas, di mata filsuf dan sastrawan Albert Camus, "jika dinyatakan bahwa yang salah hanya pernyataan yang berlawanan dengan pernyataan kita, atau bahwa yang benar hanyalah pernyataan kita. Toh, kita terpaksa mengakui bahwa penilaian yang benar maupun penilaian yang keliru, jumlahnya sama-sama tidak terbatas."

Nah, selamat menanti Godot bernama sanksi FIFA, kalau tidak ingin bermuluk-muluk mengucapkan selamat datang sanksi FIFA di pertengah tahun 2012. (ANT)

Pewarta: A.A.Ariwibowo

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012