Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Resi berteduh di bawah pohon beringin di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu sambil sesekali mengelap keringatnya.

Bersama ratusan petani lainnya dari lima desa dan satu dusun di Kecamatan Seluma Barat Kabupaten Seluma, Bengkulu, ibu tiga anak itu turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi untuk mempertahankan tanahnya.

Panasnya terik matahari membuat sebagian petani, terutama kaum ibu-ibu yang membawa anak kecil memilih berteduh di bawah pohon.

"Kalau lahan kami diambil perusahaan, tidak ada lagi tempat penghidupan," kata Resi saat ditanya tentang alasannya ikut berdemo ke Kantor BPN Bengkulu, Selasa.

Tanah seluas kurang lebih dua hektare yang diklaim PT Sandabi Indah Lestari masuk dalam areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan telah menjadi tumpuan hidup Resi dan keluarganya.

Lahan itu ditanami karet dan saat ini sudah menghasilkan dan menjadi sandaran hidupnya untuk membiayai kebutuhan keluarga.

Warga Desa Lunjuk itu menceritakan kronologis sengketa lahan tersebut dimana awalnya PT Way Sebayur masuk ke wilayah mereka dan berniat membuka perkebunan kakao.

Kehadiran perusahaan pada 1984 menjanjikan ganti rugi lahan masyarakat yang masuk dalam areal HGU.

"Tapi tanah moyang kami belum diganti rugi, yang diganti hanya tanam tumbuh, waktu itu ada kopi dan karet," katanya.

Ia mengharapkan pemerintah tidak memperpanjang HGU PT Way Sebayur yang sudah dijual kepada PT SIL yang akan berakhir pada 31 Desember 2012.

"Ingin rasanya menitikkan air mata," kata perempuan paruh baya itu, lalu air mata mengalir di pipinya.

Tidak adanya proses ganti rugi membuat warga tetap mengolah lahan itu, ditambah lagi PT Way Sebayur mulai menelantarkan lahan.

Lahan yang terlantar membuat petani mulai menggarap secara besar-besaran sejak 1997.

Koordinator Forum Petani Bersatu Kabupaten Seluma, Hosian Pakpahan mengatakan sebanyak 529 kepala keluarga saat ini menduduki lahan 1.400 hektare dari total HGU PT SIL seluas 2.816 hektare.

"Tanaman petani sudah memasuki masa produktif, lalu pada 2011 PT SIL mulai melakukan operasi setelah memenangkan lelang PT Way Sebayur," katanya.

Para petani kata dia siap mempertahankan lahan mereka dan meminta pemerintah tidak memperpanjang HGU PT SIL.

Kepala Bidang Hak Tanah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bengkulu Meldy Rosali mengatakan hingga saat ini BPN Provinsi Bengkulu belum menerima surat rekomendasi dari Pemkab Seluma tentang perpanjangan HGU PT Way Sebayur yang sudah dilelang kepada PT SIL.

"Belum ada surat rekomendasi, kalau memang sudah ada akan dibentuk panitia B yang akan melakukan pemeriksaan ke lapangan tentang kondisi lahan," katanya.

Ia meminta petani bersabar dalam penyelesaian sengketa lahan tersebut.



                                           22 titik konflik lahan

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Bengkulu Benny Ardiansyah mengatakan kasus sengketa petani dengan PT SIL hanya salah satu dari puluhan titik konflik yang teridentifikasi oleh Walhi.

"Kami baru mendapat pengaduan dari petani di Kabupaten Kepahiang tentang rencana penggusuran petani oleh pemerintah setempat," katanya.

Manajemen pertanahan yang tidak diurus dengan baik membuat potensi sengketa lahan di Bengkulu terus bertambah.

Walhi menyebutkan terdapat 22 titik konflik agraria mengancam Bengkulu akibat ketimpangan penguasaan lahan antara pemilik modal dengan masyarakat.

"Dalam bulan ini kami menerima dua pengaduan baru tentang sengketa lahan sehingga ada 22 titik potensi konflik agraria di Bengkulu," katanya.

Potensi konflik kata dia terjadi di enam kabupaten yakni Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Mukomuko, Selumam Kepahiang dan Kabupaten Kaur.

Menurutnya, kelalaian pemerintah dalam mengelola agraria juga terbukti dari banyak lahan yang sudah memiliki izin HGU tetapi ditelantarkan.

Akibatnya, ruang kelola masyarakyat Bengkulu sebagian besar dikuasai pemodal dengan luasan 463,964 hektare yang terbagi atas kuasa pertambangan dan HGU/

Sedangkan jumlah penduduk Provinsi Bengkulu mencapai 1,7 juta jiwa.

Luas lahan 1,9 juta hektare dimana 900 ribu hektare merupakan kawasan hutan, sedangkan 463.964,54 hektare dikuasai oleh perusahaan, artinya setiap warga hanya dapat mengakses kurang dari 0,8 hektare lahan.

Direktur Yayasan Genesis Bengkulu, Barlian mengatakan meski sudah berganti rezim, tetapi belum ada niat baik pemerintah menuntaskan konflik-konflik agraria.

"Padahal reforma agraria adalah salah satu agenda reformasi, tapi ternyata sudah lebih 10 tahun belum ada penuntasan konflik agraria, yang ada justru bertambah," katanya. (ANTARA)

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012