Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bengkulu dari daerah pemilihan (Dapil) Kabupaten Seluma, Jonaidi meminta pelaksaaan pemilihan kepala desa (Pilkades) di Bengkulu dievaluasi.
Hal ini disampaikan Jonaidi karena bom tas yang meledak didepan rumah Kepala Desa Serunaian, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu beberapa waktu lalu diduga ditenggarai persoalan Pilkades.
Kata Jonaidi, proses politik pada pilkades jauh berbeda dengan proses politik pada pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak. Jika pada pilkada serentak ada lembaga seperti KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara yang bisa melakukan pengawasan sedangkan pada pilkades tidak, karenanya potensi konflik pada pilkades sulit diminimalisir.
"Belum ada sarana dan prasarana atau instrumen yang mengawal proses demokrasi ditingkat desa ini supaya kualitasnya baik. Pilkades ini rawan adanya singgungan antar kelompok masyarakat karena tidak ada wasit, tidak ada juri, tidak ada Gakkumdu dalam proses Pilkades. Jadi kesannya tidak ada tempat untuk menyelesaikan konflik," jelas Jonaidi di Bengkulu, Jumat (17/1).
Jonaidi berharap insiden ledakan bom tas di Kabupaten Seluma ini dapat direspon oleh pemerintah daerah setempat dengan segera memperkuat regulasi terkait Pilkades. Bupati diharapkan mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbub) untuk memperkuat perangkat pelaksana Pilkades.
Perangkat ini nantinya yang akan melakukan pendampingan, sosialisasi, advokasi, menerima pengaduan masyarakat dan melakukan mediasi jika terjadi permasalahan antara pihak dalam Pilkades sebelum nantinya dibawa ke pengadilan.
"Sadar atau tidak sekarang desa ini sudah ada pemerintahannya, ada anggaran, ada uang negara disitu, ada gaji yang cukup besar dibandingkan dulu. Resiko demokrasi di desa ini harus diantisipasi oleh pemerintah, jangan sampai masyarakat tidak ada juri, tidak ada wasitnya," papar politisi Partai Gerindra ini.
"Kepala daerah perlu membuat regulasi, melalui Perbub cukup untuk membentuk tim yang akan melakukan monitoring, sosialisasi dan pendampingan Pilkades. Tim ini ad hoc bisa dibentuk melalui SK bupati, anggarannya juga harus didukung," sambung Jonaidi.
Selain itu, Jonaidi juga berharap pemerintah pusat bisa merevisi Undang-undang tentang pemerintahan desa, khusunya pasal mengenai syarat pencalonan sebagai kepala desa dari cukup lulusan SMP menjadi harus lulusan SMA atau sederajat. Hal ini untuk mengimbangi jenjang pendidikan perangkat desa yang diharuskan lulusan SMA sederajat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
Hal ini disampaikan Jonaidi karena bom tas yang meledak didepan rumah Kepala Desa Serunaian, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu beberapa waktu lalu diduga ditenggarai persoalan Pilkades.
Kata Jonaidi, proses politik pada pilkades jauh berbeda dengan proses politik pada pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak. Jika pada pilkada serentak ada lembaga seperti KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara yang bisa melakukan pengawasan sedangkan pada pilkades tidak, karenanya potensi konflik pada pilkades sulit diminimalisir.
"Belum ada sarana dan prasarana atau instrumen yang mengawal proses demokrasi ditingkat desa ini supaya kualitasnya baik. Pilkades ini rawan adanya singgungan antar kelompok masyarakat karena tidak ada wasit, tidak ada juri, tidak ada Gakkumdu dalam proses Pilkades. Jadi kesannya tidak ada tempat untuk menyelesaikan konflik," jelas Jonaidi di Bengkulu, Jumat (17/1).
Jonaidi berharap insiden ledakan bom tas di Kabupaten Seluma ini dapat direspon oleh pemerintah daerah setempat dengan segera memperkuat regulasi terkait Pilkades. Bupati diharapkan mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbub) untuk memperkuat perangkat pelaksana Pilkades.
Perangkat ini nantinya yang akan melakukan pendampingan, sosialisasi, advokasi, menerima pengaduan masyarakat dan melakukan mediasi jika terjadi permasalahan antara pihak dalam Pilkades sebelum nantinya dibawa ke pengadilan.
"Sadar atau tidak sekarang desa ini sudah ada pemerintahannya, ada anggaran, ada uang negara disitu, ada gaji yang cukup besar dibandingkan dulu. Resiko demokrasi di desa ini harus diantisipasi oleh pemerintah, jangan sampai masyarakat tidak ada juri, tidak ada wasitnya," papar politisi Partai Gerindra ini.
"Kepala daerah perlu membuat regulasi, melalui Perbub cukup untuk membentuk tim yang akan melakukan monitoring, sosialisasi dan pendampingan Pilkades. Tim ini ad hoc bisa dibentuk melalui SK bupati, anggarannya juga harus didukung," sambung Jonaidi.
Selain itu, Jonaidi juga berharap pemerintah pusat bisa merevisi Undang-undang tentang pemerintahan desa, khusunya pasal mengenai syarat pencalonan sebagai kepala desa dari cukup lulusan SMP menjadi harus lulusan SMA atau sederajat. Hal ini untuk mengimbangi jenjang pendidikan perangkat desa yang diharuskan lulusan SMA sederajat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020