Organisasi non-pemerintah yang konsen menangani konflik satwa liar Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS IP) menyebut, sepanjang 2019 ada 11 konflik harimau dengan manusia yang terjadi di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, penyebabnya diduga karena habitat harimau yang semakin menyempit.

Manajer WCS IP Sumatera, Firdaus R. Affandi mengatakan, data itu diperoleh dari kelompok Satuan Tugas (Satgas) konflik satwa liar binaan WCS IP yang dibentuk ditingkat desa di Kabupaten Seluma.

Di Bengkulu saat ini sudah ada 4 kelompok Satgas konflik satwa liar binaan WCS IP yakni Satgas Desa Mekar Jaya, Satgas Desa Lubuk Lagan, Satgas Desa Sekalak dan Satgas Desa Sadau Jaya. Seluruh kelompok Satgas ini dibentuk di Kabupaten Seluma.

"Tetapi frekuensi konflik yang terjadi itu dalam level rendah, artinya harimau hanya lewat atau harimau memangsa hewan ternak warga. Konflik harimau di Bengkulu pada 2019 ini tidak sampai menimbulkan korban manusia," kata Firdaus dalam kegiatan pelatihan mitigasi konflik satwa liar yang diikuti kelompok Satgas dan kelompok dokter hewan di Desa Lubuk Lagan, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, Selasa (28/1).

Menurut WCS IP, Kabupaten Seluma merupakan kabupaten di Provinsi Bengkulu yang frekuensi konflik antara manusia dan satwa liar paling banyak dibandingkan kabupaten lainnya. Ada 3 faktor yang disebut sebagai pemicu terjadinya konflik antara harimau atau satwa liar dengan manusia di Kabupaten Seluma.

Baca juga: Eksploitasi hutan berlebihan paksa harimau keluar habitat

Baca juga: Harimau terperangkap di Muara Enim dievakuasi ke Lampung

Faktor paling dominan disebut sebagai biang keladi terjadinya konflik ini karena terjadinya penyempitan habitat harimau yang tak lain karena fungsi hutan yang berubah. Perubahan fungsi hutan ini menyebabkan home ring atau daerah jelajah harimau menjadi terganggu, sehingga harimau mulai memasuki kawasan perkebunan warga dan bahkan hingga ke pemukiman.

Perubahan fungsi hutan ini berdampak pula pada ketersediaan hewan mangsa harimau yang terus berkurang. Perambahan kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan, pertambangan dan pemukiman warga ini menjadi faktor pemicu kedua terjadinya konflik satwa liar dengan manusia.

Soal ini, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dalam kesempatan pelatihan mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar di BKSDA Bengkulu, Rabu (29/1) memberikan solusi terhadap persoalan ini dengan cara melepas-liarkan hewan mangsa harimau ke kawasan jelajahnya.

Gubernur Bengkulu juga mengakui faktor utama terjadinya konflik harimau dengan manusia ini karena habitatnya terganggu, dengan begitu, kata Rohidin, hewan mangsa harimau pun semakin berkurang.

"Ketika ada yang hilang dalam satu siklus rantai makanan maka akan terganggu, itu sudah hukum alam, sunatullah. Kalau saya berpikir sederhana mungkin tidak kalau disebar hewan pemangsa itu. Sejauh mana itu bisa dilakukan saya kurang paham, kalau saya tidak terbayang bagaimana melakukannya," papar Gubernur Bengkulu.

Baca juga: 70 persen habitat satwa di Sumsel dirambah masyarakat

Baca juga: Harimau kembali serang warga di Muara Enim, korban selamat

Selain karena perubahan fungsi hutan, WCS IP menyebut berkurangnya ketersediaan hewan mangsa harimau yang terus berkurang ini juga disebabkan oleh perburuan yang dilakukan masyarakat. Masih banyak masyarakat yang memburu hewan mangsa harimau seperti babi hutan dan kijang.

Sedangkan faktor ketiga yaitu faktor antropogenik atau keberadaan manusia. Faktor ini menganggap manusia terlalu cemas dengan keberadaan harimau dan satwa liar lainnya, padahal keberadaan harimau baru terdeteksi dengan melihat jejak tetapi warga sudah cemas dan menganggap itu bagian dari konflik.

Konflik antara harimau dengan manusia ini tidak hanya berdampak pada kerugian pada manusianya saja, tetapi juga menimbulkan kerugian pada harimau yang merupakan satwa liar dilindungi. Tidak jarang, dalam beberapa kasus konflik yang menjadi korban justru harimau atau satwa liar yang lain. 

Hal ini pula yang menyebabkan akhirnya populasi harimau Sumatera dari waktu ke waktu terus berkurang. Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah menyebut populasi harimau Sumatera saat ini masuk dalam zona merah atau terancam punah.
 
Pelatihan Satgas Desa dan dokter hewan dalam mitigasi konflik satwa liar. (Foto Antarabengkulu.com)


Warga resahkan kehadiran perusahaan sawit dan batubara

Peralihan fungsi hutan menjadi kawasan non-hutan yang disebut sebagai penyebab utama terjadinya konflik antara satwa liar dan manusia ini juga dibenarkan oleh Ketua Satgas konflik satwa liar Desa Lubuk Lagan, Kabupaten Seluma, Zamantahir.

Kata Zamantahir, keberadaan harimau di desa mereka ini sudah terjadi sejak dulu kala atau sejak awal warga menempati daerah itu. Saat itu harimau memang sudah sering terlihat melintas di desa mereka, namun keberadaan harimau saat itu tidak mengancam warga setempat.

Keberadaan harimau mulai dirasa mencancam warga setelah tambang batubara dan perusahaan kelapa sawit berdiri di desa tersebut. Sebelum perusahaan itu berdiri, warga hanya melihat atau menemukan jejak harimau didalam hutan saja, tetapi setelah perusahaan itu berdiri warga justru melihat dan menemukan jejak harimau diarea perkebunan.

"Ada juga warga kami disini beberapa tahun lalu ketemu dengan harimau didekat PT batubara itu. Dia perempuan, ketemu harimau dijalan saat ibu itu mau menyadap karet ke kebun. Kalau dulu ada harimau tetapi kami tidak merasa terancam, kalau sekarang kami benar-benar merasa terancam," jelas Zamhari.

Selain Zamhari, anggota Satgas konflik satwa liar Desa Mekar Jaya, Kabupaten Seluma, Ade Haldi menceritakan hal yang sama. Warga setempat mulai cemas dengan keberadaan harimau di desa itu ketika perusahaan sawit mulai berdiri.

Baca juga: Teror harimau di Rokan Hilir, warga resah

Baca juga: BKSDA pasang spanduk peringatan bahaya binatang buas di Desa Pulau Panas dan Gunung Dempo

Perusahaan kepala sawit disekitar desa itu membuka perkebunan diarea yang menjadi home ring atau daerah jelajah harimau. Akibatnya, saat ini harimau tidak hanya terlihat mendatangi perkebunan warga tetapi bahkan sudah berani masuk ke pemukinan.

Selain perusahaan kelapa sawit, warga dari luar daerah pun kini semakin luas membuka lahan untuk dijadikan kebun kopi. Kata Ade, mereka yang membuka lahan ini baik perorangan maupun perusahaan sedikit banyaknnya telah mengambil kawasan hutan yang berstatus hutan lindung dan hutan peruntukan lain.

"Semakin kesini harimau semakin sering terlihat. Kalau dulu tidak ada istilahnya harimau masuk ke kampung, kalau sekarang sudah berani masuk kampung. Sekarang sudah berapa berapa puluh ribu itu hutan yang dibuka, itu kan rumah harimau," papar Ade.

Sekarang, kata Ade, sekitar 300 kepala keluarga (KK) di desa itu hidup dibawah ancaman harimau sumatera. Warga merasa tak tenang setiap kali mereka harus menyadap karet atau pergi ke kebun harus bertemu dengan harimau.

Kepala BKSDA Bengkulu - Lampung, Donald Hutasoit mengakui jika warga beberapa desa di Kabupaten Seluma saat ini hidup berdampingan dengan harimau. Menariknya Donald menyebut harimau sudah dianggap sahabat oleh warga setempat.

Kendati menyadari tingginya frekuensi warga yang bertemu dengan harimau, Donald menyebut kondisi ini belum membahayakan sehingga BKSDA menganggap warga setempat belum perlu direlokasi.

"Saya kira kalau merelokasi masyarakat disitu belum perlu, itu langkah terakhir lah. Meskipun harimau itu dianggap sahabat mereka, kita juga tetap melakukan upaya agar tidak membahayakan," jelas Donald.
 
Harimau sumatera (Foto : Antara)


Konflik satwa liar diprediksi terus meningkat

Disisi lain, dokter hewan BKSDA Bengkulu - Lampung, Erni Suyanti Musabine memprediksi dalam beberapa tahun kedepan konflik antara satwa liar dengan manusia di Bengkulu akan terus meningkat. Hal ini menyusul rencana Pemerintah Provinsi Bengkulu yang mengusulkan peralihan fungsi hutan seluas puluhan ribu hektare.

Usulan peralihan fungsi hutan itu meliputi perubahan fungsi kawasan hutan dari Cagar Alam (CA), Taman Buru (TB), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL) menjadi Taman Wisata Alam (TWA).

Selain itu, beberapa kawasan TWA Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat juga diusulkan diubah fungsi menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan perubahan peruntukan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain.

Salah satu kawasan yang selama ini menjadi home ring atau daerah jelajah harimau di Kabupaten Seluma yakni di Taman Buru (TB) Semidang Bukit Kabu sebagian kawasannya masuk dalam usulan perubahan fungsi menjadi TWA.

"Saat ini pemerintah kabupaten dan kota mengusulkan melalui gubernur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk alih fungsi kawasan hutan, dari Mukomuko sampai Kaur. Dari beberapa kawasan itu adalah habitatnya harimau, habitat gajah dan habitat beruang," jelas dokter hewan BKSDA Bengkulu - Lampung yang akrab disapa dokter Yanti.

Baca juga: AL alias Dangdut sikat 13 kamera trap pemantau harimau, dijual Rp500 ribu

Baca juga: Wisata ikon "PAGARALAM" di Gunung Dempo masuk wilayah jelajah harimau

"Kawasan Seluma itu kan masuk kawasan lanscapenya Bukit Balai Rejang Selatan. Salah satu kawasan konservasi yang di wilayah ini seperti Taman Buru Semidang Bukit Kabu kita dan juga kawasa hutan disekitarnya masuk dalam pengusulan alih fungsi kawasan hutan juga," sambung dokter Yanti.

WCS IP juga mengkhawatirkan peralihan fungsi hutan ini akan memberikan dampak buruk terhadap habitat satwa liar termasuk harimau Sumatera. Peralihan fungsi hutan ini dikhawatirkan akan meningkatkan frekuensi konflik antara satwa liar dan manusia.

Pemerintah baik pusat maupun daerah, menurut WCS IP saat ini malah terus mendorong peralihan fungsi hutan. Disisi lain, pihak otoritas yakni Polisi Kehutanan jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak maksimal mencegah terjadinya pembalakan hutan secara ilegal.

"Peraturan proporsi hutan disetiap daerah yakni 30 persen, Bengkulu mungkin belum mencapai itu tetapi seharusnya tidak pada angka 30 persen dan terus ditekan. Biarlah hutan yang ada tersisa ini jangan diganggu lagi," kata Firdaus.

Menanggapi hal ini, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan, usulan perubahan fungsi hutan ini tidak ada kaitannya dengan habitat satwa liar. Usulan perubahan kawasan hutan ini adalah lahan pemukiman yang ada didalam lahan Hak Guna Usaha (HGU). Selain itu ada juga pemukiman yang masuk dalam kawasan hutan lindung.

"Ada 5 desa yang masuk dalam kawasan TWA, nah ini yang mau kita lepas dan turunkan statusnya. Secara defakto eksisting memang itu memang sudah pemukiman, dari pada statusnya mengambang dan mengakibatkan konflik antara masyarakat dan pemerintah ini akhirnya kita lepas. Bukan hutan perawan yang kita ubah status, itu tidak ada," papar Rohidin.

Rohidin juga meminta BKSDA dan organisasi lingkungan hidup mendorong adanya komitmen bersama antara kepala daerah di Sumatera untuk menjaga habitas satwa liar termasuk harimau. Upaya konservasi ini juga harus diiringi dengan upaya budidaya satwa liar termasuk juga harimau Sumatera.  

Sementara itu, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Bengkulu, Mariska Tarantona mengatakan, home ring atau daerah jelajah harimau Sumatera di Kabuaten Seluma ini mulai dari Desa Arang Sapat, Dusun Tengah, Talang Sebaris.

Sebagian daerah jelajah lainnya ada juga yang menyeberang ke Taman Buru (TB) Semidang Bukit Kabu di Kabupaten Bengkulu Tengah atau disekitar daerah Desa Kota Niur. Pantau sementara, daerah jelajah harimau ini bukan daerah padat penduduk dan rata-rata daerah jelajahnya ini adalah area perkebunan masyarakat.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020