Cinta Indonesia pada era digital
Senin, 14 Agustus 2023 12:16 WIB 1310
Hanya karena dirinya memiliki wajah Arab, maka Habib Ja'far pun dianggap orang lain, padahal dirinya tidak bisa berbahasa Arab dan suka masakan Indonesia. Secara berkelakar dia bercerita memang pernah ke Padang, tapi tidak pernah ke Padang Pasir. Cerita itu untuk menegaskan bahwa dirinya adalah Indonesia asli.
Namun, ulama muda yang selalu menyuarakan hidup damai dalam perbedaan keyakinan itu mengaku beruntung karena diajari ayahnya tentang pentingnya kesamaan, toleransi, dan kebersamaan. Karena itu, kuncinya adalah carilah kesamaan atau persamaan, termasuk di dunia digital, sebab konten-konten saling menyalahkan, menuduh, dan mencaci itu cukup banyak berseliweran di dunia medsos.
Jangankan mencaci orang tanpa data, bahkan polisi tidur pun disalahkan oleh orang Indonesia. Misalnya, jangan lewat gang X, karena di situ banyak polisi tidurnya. Polisi tidur pun dicari-cari kesalahannya.
Oleh karena itu, kalau konten yang diterima itu cuma memperpanjang perbedaan, maka sebaiknya ditinggalkan saja, karena Al Qur'an sendiri mengajarkan bahwa perbedaan itu memang diciptakan-NYA untuk "li ta'aarofu" atau saling mengenal, bukan membuat jarak.
Untuk menumbuhkan kesamaan dan persamaan itu, bangsa Indonesia harus memprioritaskan persamaan di antara perbedaan yang ada.
Baca juga: Indonesia dalam peta pencalonan tuan rumah Olimpiade 2032
Jika di bangsa ini kita mau fokus mencari perbedaan, itu akan banyak sekali ditemuka, karena Indonesia memang memiliki keragaman dalam budaya, agama, suku, dan ras. Maka itu pilihannya hany satu, yaitu tonjolkan persamaan atau hal-hal yang sama saja. Secara kelakar, untuk urusan bubur saja, kita juga memiliki banyak perbedaan. Ada yang cara makannya bubur itu diaduk dulu, ada juga yang tidak.
Terkait keragaman itu, bangsa kita memiliki kearifan lokal yang juga banyak terkait kesamaan itu, yang kalau di Madura ada sebutan "tretan dibik", kalau di Surabaya ada sebutan "dulur" atau "sedulur", yang maknanya adalah saudara sendiri. Dulu, Bung Karno mengajak masyarakat berjuang dengan bambu runcing, karena bambu runcing itulah kesamaan kita. Jadi bambu runcing di masa lalu itu yang membangun kesamaan.
Jadi, masa pembangunan itu perlu menonjolkan kesamaan, terutama kesamaan sebagai Bangsa Indonesia, meski berbeda suku, agama, ras (pribumi-non), dan antargolongan (kaya-miskin). Persamaan bangsa ini juga banyak, seperti kesamaan bahasa, tapi bisa juga segala hal yang positif adanya, seperti prestasi yang membanggakan bangsa.
Nah, pada era digital ini justru sangat memerlukan bangunan persamaan, karena dunia digital justru memiliki perbedaan dalam jumlah yang berlipat-lipat untuk tujuan viral atau mengundang viewer, like, dan rating, yang jika tak disikapi dengan mengedepankan persamaan akan justru memorakporandakan bangsa ini.
Masa lalu sudah membuktikan bahwa selalu memandang persamaan itulah yang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan yang akhirnya mengantarkan bangsa kita merdeka. Sekarang, tantangan sudah berbeda, tapi kuncinya tetap, yakni kebersamaan untuk Indonesia Pusaka! Presiden Jokowi mengajak dan mengingatkan semua elemen bangsa ini bahwa kompetisi ke depan bukan kayak lari pagi, tapi lari maraton.
Perbedaan yang banyak itu tetap perlu dibalut dengan rasa cinta atau rasa bangga kepada semua orang Indonesia yang berbeda-beda dan sekarang juga sudah menyebar dimana-mana hingga Afrika. Kemenangan (merdeka, maju, dan mandiri) itu perlu kebersamaan. Ya, kita rayakan momentum HUT ke-78 Kemerdekaan RI dengan cinta dan kebersamaan bagi siapapun dan untuk apapun.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News