Depok (Antara Bengkulu) - Banyak orang merasa kaget ketika Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Meski mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazaruddin sejak lama menyebut-nyebut  Anas terlibat dalam kasus Hambalang, tetapi publik tampaknya masih ragu, apakah benar tokoh jebolan Himpunan Mahasiswa Islam itu terkait dengan praktik kotor yang merugikan negara itu.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi terkait proyek Hambalang dan lainnya, Anas memutuskan berhenti sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, pada 23 Februari lalu.

Dia juga menyatakan keluar dari partai tersebut. Semenjak itu, beberapa pengurus mengambil langkah serupa sebagai bentuk solidaritas, seperti Ketua DPC Partai Demokrat Cilacap Tri Dianto dan Wakil Direktur Eksekutif DPP Demokrat M. Rahmad.

Menurut pengamat politik dari Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, dalam posisinya sekarang Anas punya hak untuk melakukan perlawanan dengan mengungkap kasus korupsi lain yang diketahuinya. "Pengungkapan itu akan menjadi bagian dari bargaining (alat tawar) politik Anas di internal Partai Demokrat. Dan, itu sah dilakukan," katanya.

Dia berpendapat, saat ini memang ada banyak pihak yang ingin membuat kasus Anas menjadi momentum untuk mengungkap praktik kriminalisasi dalam politik di Indonesia. ¿Kalau istilah saya, ada yang ingin mendorong Anas menjadi whistle blower untuk mengungkap praktik ¿demokrasi kriminal¿ yang sedang terjadi.¿

Namun dia mengingatkan, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini harus bijak menghadapi tuntutan banyak pihak yang memintanya mengungkap kasus korupsi yang ia ketahui. Situasi politik sekarang harus dilihat sebelum mengambil langkah.

"Kalau memang yang akan diungkap Anas itu bisa membuat situasi politik sangat panas dan dapat  mengganggu stabilitas nasional, dia harus benar-benar mempertimbangkannya," kata Sukardi.

Tetapi, pengacara Anas, Firman Wijaya menyebutkan, kliennya tidak pas diposisikan sebagai justice collaborator (rekan keadilan). Posisi justice collaborator hanyalah untuk orang yang terlibat dalam kasus hukum.

Sementara itu peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril, mengatakan, sejauh ini Anas belum mengungkap informasi baru. Jika "halaman baru" yang diisyaratkan bakal dibuka Anas ternyata data lama, Anas tidak memberikan perkembangan baru. Seolah-olah dia menampilkan diri sebagai korban atau dizalimi.

"Sampai sekarang, komentar Anas justru hanya menjadi pencitraan, permainan retorika, atau jadi gosip-gosip politik," ujarnya sambil menambahkan, untuk menghindari itu, Anas diminta sungguh-sungguh mau membongkar kasus-kasus korupsi yang ia ketahui.

Terkait hal itu wartawan senior Budiarto Sambhazy menilai bekas Ketua Umum HMI ini tidak akan seberani Nazaruddin, dalam membeberkan kasus korupsi di tubuh partainya. "Dokumen-dokumen sudah keluar dari dulu, sejak Nazaruddin diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," katanya.

Karier politik mantan Ketua Umum Partai Demokrat dipastikan habis menyusul penetapan statusnya sebagai tersangka. "Ya. Sudah selesai dia. Nggak ada lagi harapan karier politiknya untuk saat ini. Dia sudah nggak ketua umum, sudah bukan anggota DPR," kata Budiarto.

Satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan Anasenurut dia adalah kemauannya untuk meminta KPK memeriksa dirinya terkait kasus korupsi tersebut. "Dia menjadi wistler blower. Dia minta diperiksa KPK terus dia janji mau mengungkapkan siapa saja (yang terlibat). Itu masih bisa selamat," katanya.

Jadi, jika Anas bersedia dan berani menjadi wistler blower, Anas akan menjadi pahlawan. Istilahnya 'from zero to hero'.

Setelah Anas diperiksa dan menjalani vonis KPK, katanya, Anas masih bisa berkecimpung di dunia politik walau tidak sementereng saat menjabat Ketua Umum Partai Demokrat. "Kita tahu Akbar Tandjung sudah diadili, sekarang tetap orang penting di Golkar. Tommy Soeharto diadili, tapi kemudian  bisa bikin partai."

Gamang
Status Anas sebagai tersangka ternyata tidak menyurutkan dukungan pada dirinya baik dari dalam Partai Demokrat sendiri maupun tokoh-tokoh luar partai. Politisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, bekas menteri dan mantan ibu negara, berdatangan ke rumahnya di bilangan Duren Sawit, Jakarta Timur.

Sejumlah pengurus Demokrat yang merupakan para loyalis Anas, meski belum mundur tapi tetap setia mendatangi rumah Anas, antara lain Juru Bicara I Gede Pasek Suardika, Ketua DPP Partai Demokrat Umar Arsal, dan Wakil Sekretaris Jenderal Saan Mustopa.

Juga dua rombongan mendatangi kediaman Anas di antaranya Laskar Anti-Korupsi Pejuang 45. Sekjen Laskar ini, Hasbi Ibrahim meminta agar  Anas jangan hanya bicara, tapi buktikan berani bongkar kasus-kasus korupsi besar.

Namun penetapan status tersangka terhadap Anas, juga membuat para pendukung mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu akan merasa gamang untuk menentukan sikap. Pilihan yang memungkinkan bagi mereka adalah melupakan Anas dan bertahan di partai atau keluar dari partai tersebut.

Menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi, saat ini para loyalis Anas menghadapi dilema, terutama karena proses menghadapi pemilihan umum 2014 telah berlangsung. Tanggal 9 April, daftar calon anggota legislatif harus segera diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Burhanuddin menyebutkan, penetapan daftar calon sementara (DCS) untuk anggota legislatif membuat para loyalis Anas menjadi gamang karena harus memilih di antara dua pilihan. "Kalau menyatakan mundur dari Partai Demokrat, karier politik mereka akan sulit di 2014. Kalau masuk partai lain, proses penentuan DCS sudah dimulai."

Dia berpendapat, para loyalis Anas yang tetap bertahan di dalam partai akan sulit mendapatkan keistimewaan jika mereka tetap menunjukkan dukungan kepada Anas. Karena itu  pendukung Anas yang selama ini memiliki posisi strategis akan berpikir panjang untuk mengikuti jejak Anas mundur dari Partai Demokrat.

"Kalau tidak strategis, seperti Rahmad yang jadi Wakil Direktur Eksekutif, mungkin tidak ada ongkos politik di partai. Jadi pilihannya kembali ke Demokrat dan meninggalkan Anas atau keluar dari partai," ujarnya.

Sementara itu Wakil Sekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan, menyayangkan pernyataan Anas kepada publik setelah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi Hambalang, karena tidak menunjukkan kesantunan.

Ia berpendapat, pernyataan Anas menyerang Partai Demokrat. ¿Padahal  sewaktu di DPP, dia ketum dan saya waksekjen. Sama-sama mengusung politik yang cerdas, bersih dan santun. Kalau sekarang menyerang, berarti kan sudah tidak santun lagi," ujarnya.

Kini Ramadhan menilai Anas berubah. "Pernyataan yang begitu gencar membuat saya masygul. Kok, Mas Anas sekarang berubah. Mudah-mudahan Mas Anas cepat kembali ke semula. Tidak terpengaruh tabuhan gendang yang dilakukan orang lain."

Dia juga menyesalkan tudingan Anas tentang adanya intervensi dalam penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi proyek Hambalang. Anas juga mengatakan, ujian untuk Partai Demokrat belum selesai. Menurutnya, sejarah akan membuktikan apakah akan menjadi partai yang santun atau sadis.

Anas juga menyatakan, dirinya sebagai bayi yang tidak diinginkan lahir dalam kongres Paryai Demokrat. "Saya kira itu emosional belaka. Karena faktualnya tidak demikian. Kalau misalnya tidak diharapkan, bagaimana mungkin Mas Anas bisa terpilih jadi Ketum? Padahal saat itu yang digadang-gadang, direstui adalah Andi Mallarangeng," ujarnya.

Benarkah Anas yang dulu santun, sederhana, rendah hati dan religius itu kini tersandung dugaan gratifikasi proyek Hambalang, sejauh ini masih belum gamblang. Tetapi jika hukum betul-betul ditegakkan, masyarakat berharap yang benar akan tetap benar yang salah tentunya patut dihukum. Semoga hukum tidak buta.

Pewarta: Oleh Illa Kartila

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013