Bengkulu (Antara Bengkulu) - Masyarakat adat suku Semende Marga Ulu Nasal, Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Bengkulu menolak investasi perusahaan perkebunan PT Cipta Bumi Selaras yang akan menggusur tanah adat mereka.

"Tanah nenek moyang kami dijual oknum di desa kepada perusahaan dan saat ini keluarga sedang mengukur ulang untuk merebut kembali tanah kami," kata Emrodili, salah seorang keturunan masyarakat adat itu di Bengkulu, Jumat.

Ia mengatakan masyarakat adat Suku Semende Marga Ulu Nasal merupakan komunitas adat yang masih arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya.

Kearifan dan pengetahuan lokal tersebut antara lain pemilihan lokasi hutan yang akan dikelola.

"Mereka sadar bahwa lahan yang sudah dibuka harus dihutankan kembali yaitu dengan menananam tanaman keras dan secara fungsi ekologisnya sama dengan tumbuhan hutan," katanya.

Namun, sejak perusahaan tersebut hadir di wilayah itu, banyak tanah yang sudah digusur bahkan ditanami khususnya di daerah Desa Muara Dua.

Lahan yang ditanami tersebut menurutnya adalah tanah masyarakat adat yang merupakan warisan nenek moyang.

"Bahkan ada sawah yang sudah ditanami sawit dan kebun yang isinya durian, cempedak, sekapas, manggis bahkan damar dan tanaman keras lainnya," tambanya.

Berdasarkan peraturan adat Suku Semende, tanah tersebut dimiliki oleh seluruh anak cucu keturunan pemilik lahan.

Jika lahan tersebut berbentuk sawah, siapapun anak cucu boleh mengambilnya, sementara kebun yang ditanami tanaman keras dapat diambil hasilnya.

"Desa kami dulunya terkenal sebagai penghasil buah-buahan seperti durian dan manggis," katanya.

Namun, karena banyak keturunan pemilik lahan yang tidak berada di desa, sehingga sebagian tidak mengetahui jika tanah moyang mereka sudah dijual oleh oknum yang bukan ahli waris.

Sebagian warga kata dia secara sadar menyerahkan tanahnya kepada perusahaan dengan ganti rugi.

"Kalau diganti rugi tidak kami persoalkan, tapi yang banyak terjadi dijual oknum tertentu yang bukan ahli waris, ini yang kami gugat," katanya.

Emrodili mengatakan dalam sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat Semende telah menerapkan sistem pengelolaaan sumber daya alam yang berorentasi pada kepentingan lokal/adat yang tinggal di dalam dan atau disekitarnya yang menerapkan kelestarian dan daya dukung lingkungan.

Hal itu tercermin dari pola pengelolaaan sumber daya alam yang berasaskan pada prinsip-prinsip keberlanjutan.

Dalam pengelolaan SDA seperti pembukaan lahan, masyarakat adat mengikuti pola dari kebun, menjadi talun atau semak-semak, kemudian menjadi hutan lagi.

"Lalu mereka akan membuka lahan baru yang mereka anggap masih subur dalam wilayah tersebut, tapi suatu saat mereka akan kembali lagi ketempat yang tadinya mereka hutankan untuk membuka dan mengelolanya begitu seterusnya," katanya menerangkan.

Sementara dalam hal kepemilikan dan pengelolaan diatur berdasarkan peran "Tunggu Tubang". Dalam sistem ini tidak ada pembagian warisan sebab harga yang ditinggalkan akan otomatis diturunkan dari generasi ke generasi.

Tunggu tubang adalah ahli waris yang mempunyai hak kelola terhadap semua harta warisan, sementara hak milik tetap pada semua ahli waris. Anak perempuan tertua yang memegang peran tunggu tubang.

"Keluarga besar sudah membentuk tim yang akan mengukur tanah moyang kami dan kami akan memperjuangkan tanah itu," katanya.

PT Cipta Bumi Selaras seluas 10.000 hektare bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.(ant)

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Ferri Aryanto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013