Aktivis perempuan di Bengkulu mendesak pemerintah daerah menyediakan fasilitas rumah aman sebagai tempat perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

Direktur Pusat Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu Susi Handayani menyebut saat ini angka kekerasan terhadap anak di Bengkulu masih tinggi, sehingga rumah aman dinilai sangat dibutuhkan sebagai sentra pelayanan bagi anak yang menjadi korban kekerasan.

"Seharusnya peringatan hari anak nasional ini menjadi momentum untuk negara memenuhi tanggungjawabnya, paling tidak menyediakan rumah aman sebagai tempat perlindungan bagi anak yang menjadi korban kekerasan di Bengkulu," kata Susi di Bengkulu, Jumat.

Berdasarkan catatan yang dimiliki PUPA, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Bengkulu sepanjang tahun 2020 mencapai 377 kasus, sebanyak 121 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual dan sebanyak 28 kasus kekerasan seksual di antaranya tersebut terjadi di Kota Bengkulu.

Sedangkan pada 2019, kata Susi, jumlah kasus kekerasan terhadap anak mencapai 409 kasus, sebanyak 147 kasus merupakan kasus kekerasan seksual dan 35 kasus kekerasan seksual tersebut diantaranya terjadi di Kota Bengkulu.

PUPA juga mencatat sepanjang tahun 2020 sebanyak 13 orang anak dari rentang usia tujuh hingga 18 tahun di Provinsi Bengkulu menjadi pelaku kekerasan seksual.

Susi menambahkansecara formal pihaknya sudah mengusulkan pembentukan rumah aman tersebut ke Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah melalui Rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Mekanisme Pelayanan Terpadu.

Namun, kata dia, informasi terbaru mengenai draf Pergub tersebut saat ini masih dibahas di Biro Hukum Sekretariat Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu.

"Secara informal juga kami juga terus mendorong agar pemerintah daerah segera mendirikan rumah aman itu dengan cara mengkampanyekannya melalui media sosial," jelas Susi.

Selain itu, Susi juga mendorong Pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini pembahasannya ditunda oleh DPR.

Sebab, menurut dia masih banyak bentuk kekerasan seksual yang sanksinya belum terakomodir dalam UU Perlindungan Anak maupun UU lainnya, seperti sanksi hukum bagi pelaku pelecehan seksual, sehingga Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut memang dibutuhkan.

"Jadi kita berhadap dengan adanya UU Penghapusan Kekerasan Seksual itu nantinya akan melengkapi kebijakan perlindungan untuk anak dari segala bentuk tindakan kekerasan seksual," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Bengkulu Desty Yolanda mengecam masih tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual di Provinsi Bengkulu.

Menurutnya, pemerintah daerah harus segera mengambil tindakan serius untuk menyikapi persoalan tersebut agar angka kekerasan terhadap anak tidak terus bertambah, termasuk menyediakan seluruh fasilitas yang salah satunya seperti rumah aman.

"Dari data yang ada memang angka kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual terhadap anak di Bengkulu memang masih tinggi, tentu ini harus menjadi perhatian serius pemerintah," ucapnya.

Meski begitu, Desty juga meminta pranata sosial lainnya di Bengkulu juga ikut berpartisipasi dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, terutama pencegahan dini dengan menguatkan peranan keluarga.

Sebab, kata dia, dari sekian banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut justru dilakukan oleh orang dekat didalam keluarga.

"Peran keluarga tentu sangat penting untuk mencegah, selain itu adalah peranan lingkungan sekitar misalnya tetangga memang harus sama-sama mengawasi agar tidak terjadi kekerasan seksual terhadap anak," kata Desty.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020