Mataram (Antara Bengkulu) - Populasi kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea) di Nusa Tenggara Barat kritis akibat maraknya perburuan liar dan pemanfaatan yang tidak terkendali, kata Fungsional Pengendali Ekosistem Hewan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NTB Tri Endang Wahyuni.
Aparat BKSDA pernah menangkap pelaku perburuan liar burung kakatua jambul kuning, namun hingga kini perburuan satwa dilindungi tersebut masih terjadi, ujarnya di Mataram, Senin.
Berdasarkan status keterancaman, kakatua kecil jambul kuning termasuk dalam kategori "critical endangered" (CR) atau sangat terancam punah, .
"Secara nasional dan International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List 2007 kakatua jambul kuning dalam kondisi sangat terancam punah, karena pupulasinya sangat sedikit," kata Tri.
Ia mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di kawasan KSDA populasi satwa dilindungi itu hanya sekitar 87 ekor, yakni di kawasan Gunung Tambora (Dompu), Pulau Moyo (Sumbawa) dan di Kecamatan Jereweh (Sumbawa Barat).
Sementara di kawasan hutan Tatar Sepang, Kecamatan Sekonkang menurut informasi dari PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) populasi kakatua kecil jambul kuning hanya 20 ekor, sehingga total populasi kakatua jambul kuning di NTB hanya 107 ekor.
Menurut dia, penurunan populasi burung kakatua kecil jambul kuning tersebut sangat dratis terutama di habitatnya di wilayah Kecamatan Jereweh, kawasan Tambora dan Rinjani. Ini akibat pemanfatan yang tidak terkendali.
"Selain itu perkembangbiakan jenis satwa tersebut sangat lambat. Dalam setahun hanya sekali bertelur dan hanya dua butir. Lambatnya perkembangan populasi kakatua tersebut juga karena persaingan sarang," katanya.
Kelemahan jenis burung tersebut, menurut Tri, jika sarangnya digunakan burung lain, maka dia tidak jadi bertelur. Jenis kakatua ini penakut, artinya tidak berani melawan kendati sarangnya diambil burung lain.
BKSDA NTB sedang melakukan pemantauan dan pembinaan habitat. Ini dimaksudkan untuk mencegah populasi satwa yang dilidungi itu punah.
Pemanfaatan burung kakatua kecil jambul kuning tersebut sejak tahun 2000-an cukup tinggi, karena harganya cukup mahal mencapai Rp5 juta per ekor. Jenis burung tersebut tidak dijual di pasar, tetapi berdasarkan pesanan baru ditangkap.
"Untuk mencegah punahnya burung tersebut, BKSDA NTB akan mulai melakukan berbagai langkah, antara lain pendataan populasi secara berkala dan pembenahan habitat satwa," katanya.
Selain itu, katanya, juga akan menyosialisasikan ke masyarakat agar tidak memburu burung tersebut, sebab termasuk jenis satwa liar yang dilindungi sebagaimana diatur dalam PP No 7/1999, dan Undang-Undang No 5/1990.
Pada pasal 40 ayat 2 UU No 5/1990 disebutkan siapa saja yang sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
Aparat BKSDA pernah menangkap pelaku perburuan liar burung kakatua jambul kuning, namun hingga kini perburuan satwa dilindungi tersebut masih terjadi, ujarnya di Mataram, Senin.
Berdasarkan status keterancaman, kakatua kecil jambul kuning termasuk dalam kategori "critical endangered" (CR) atau sangat terancam punah, .
"Secara nasional dan International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List 2007 kakatua jambul kuning dalam kondisi sangat terancam punah, karena pupulasinya sangat sedikit," kata Tri.
Ia mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di kawasan KSDA populasi satwa dilindungi itu hanya sekitar 87 ekor, yakni di kawasan Gunung Tambora (Dompu), Pulau Moyo (Sumbawa) dan di Kecamatan Jereweh (Sumbawa Barat).
Sementara di kawasan hutan Tatar Sepang, Kecamatan Sekonkang menurut informasi dari PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) populasi kakatua kecil jambul kuning hanya 20 ekor, sehingga total populasi kakatua jambul kuning di NTB hanya 107 ekor.
Menurut dia, penurunan populasi burung kakatua kecil jambul kuning tersebut sangat dratis terutama di habitatnya di wilayah Kecamatan Jereweh, kawasan Tambora dan Rinjani. Ini akibat pemanfatan yang tidak terkendali.
"Selain itu perkembangbiakan jenis satwa tersebut sangat lambat. Dalam setahun hanya sekali bertelur dan hanya dua butir. Lambatnya perkembangan populasi kakatua tersebut juga karena persaingan sarang," katanya.
Kelemahan jenis burung tersebut, menurut Tri, jika sarangnya digunakan burung lain, maka dia tidak jadi bertelur. Jenis kakatua ini penakut, artinya tidak berani melawan kendati sarangnya diambil burung lain.
BKSDA NTB sedang melakukan pemantauan dan pembinaan habitat. Ini dimaksudkan untuk mencegah populasi satwa yang dilidungi itu punah.
Pemanfaatan burung kakatua kecil jambul kuning tersebut sejak tahun 2000-an cukup tinggi, karena harganya cukup mahal mencapai Rp5 juta per ekor. Jenis burung tersebut tidak dijual di pasar, tetapi berdasarkan pesanan baru ditangkap.
"Untuk mencegah punahnya burung tersebut, BKSDA NTB akan mulai melakukan berbagai langkah, antara lain pendataan populasi secara berkala dan pembenahan habitat satwa," katanya.
Selain itu, katanya, juga akan menyosialisasikan ke masyarakat agar tidak memburu burung tersebut, sebab termasuk jenis satwa liar yang dilindungi sebagaimana diatur dalam PP No 7/1999, dan Undang-Undang No 5/1990.
Pada pasal 40 ayat 2 UU No 5/1990 disebutkan siapa saja yang sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013