Jakarta (Antara Bengkulu) - Terdakwa perkara korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008 Neneng Sri Wahyuni mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
"Ada rencana sepertinya kami mau mengajukan banding," kata pengacara Neneng, Rufinus Hutauruk di Jakarta, Senin.
Pada sidang Kamis (14/3), Neneng dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi memperkaya diri sendiri dan orang lain dan merugikan keuangan negara sehingga dijatuhi hukuman 7 tahun dan denda Rp200 juta subsider pidana kurungan 6 bulan.
Neneng juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp800 juta.
"Itu sudah kelewatan, Neneng ini siapa sih? Apa dia bisa mempengaruhi menteri, pejabat pemerintahan? Coba dilihatlah, ini kan penegakkan hukum yang sudah tidak benar, ke mana struktur hukum keadilannya?" ungkap Rufinus.
Rufinus juga menyatakan bahwa putusan itu sangat tendensius.
Selanjutnya, Rufinus juga keberatan dengan putusan yang diberikan dengan cara "in abtentia" karena tidak dihadiri Neneng.
Saat itu Neneng mengeluh sakit dan meminta agar sidang putusan ditunda, tapi majelis hakim yang diketuai Tati Hadianti memutuskan untuk membacakan vonis Neneng meski istri mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan tim pengacaranya tidak hadir dalam persidangan.
Putusan itu berdasarkan pasal 12 ayat 2 Undang-undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
"Kemarin kami hadir juga dalam persidangan, tapi dipakai pasal 12 ayat 2 kalau berhalangan, Neneng kan tidak berhalangan, Neneng hadir tapi sakit, ini berbeda, hakim ini katanya wakil Tuhan bukan wakil KPK saja," tambah Rufinus.
Dalam amar putusannya, majelis hakim yang terdiri atas Tati Hadiyanti, Pangeran Napitupulu, Made Hendra, Hugo dan Joko Subagyo menilai bahwa Neneng terbukti menegosiasikan, mengatur pengeluaran dan pemasukan PT Anugerah serta membuka rekening PT Alfindo Nuratama Perkasa tanpa diketahui direktur perusahaan Arifin Ahmad, mengelola uang dari Depnakertrans dan mencairkan uang untuk kepentingan Neneng.
"Terdakwa tahu dan ikut ambil peran yang diikuti suaminya M Nazaruddin dengan menempatkan beberapa perusahaan, satu yang utama dan yang lain sebagai pendamping untuk proyek PLTS di Depnakertran, selanjutnya mengubah spesifikasi pengadaan sehingga PT Alfindo menjadi pemenang tender yang justru tidak memasang sendiri PLTS malah mengalihkan ke PT Sundaya," ungkap hakim Made Hendra.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Ada rencana sepertinya kami mau mengajukan banding," kata pengacara Neneng, Rufinus Hutauruk di Jakarta, Senin.
Pada sidang Kamis (14/3), Neneng dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi memperkaya diri sendiri dan orang lain dan merugikan keuangan negara sehingga dijatuhi hukuman 7 tahun dan denda Rp200 juta subsider pidana kurungan 6 bulan.
Neneng juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp800 juta.
"Itu sudah kelewatan, Neneng ini siapa sih? Apa dia bisa mempengaruhi menteri, pejabat pemerintahan? Coba dilihatlah, ini kan penegakkan hukum yang sudah tidak benar, ke mana struktur hukum keadilannya?" ungkap Rufinus.
Rufinus juga menyatakan bahwa putusan itu sangat tendensius.
Selanjutnya, Rufinus juga keberatan dengan putusan yang diberikan dengan cara "in abtentia" karena tidak dihadiri Neneng.
Saat itu Neneng mengeluh sakit dan meminta agar sidang putusan ditunda, tapi majelis hakim yang diketuai Tati Hadianti memutuskan untuk membacakan vonis Neneng meski istri mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan tim pengacaranya tidak hadir dalam persidangan.
Putusan itu berdasarkan pasal 12 ayat 2 Undang-undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
"Kemarin kami hadir juga dalam persidangan, tapi dipakai pasal 12 ayat 2 kalau berhalangan, Neneng kan tidak berhalangan, Neneng hadir tapi sakit, ini berbeda, hakim ini katanya wakil Tuhan bukan wakil KPK saja," tambah Rufinus.
Dalam amar putusannya, majelis hakim yang terdiri atas Tati Hadiyanti, Pangeran Napitupulu, Made Hendra, Hugo dan Joko Subagyo menilai bahwa Neneng terbukti menegosiasikan, mengatur pengeluaran dan pemasukan PT Anugerah serta membuka rekening PT Alfindo Nuratama Perkasa tanpa diketahui direktur perusahaan Arifin Ahmad, mengelola uang dari Depnakertrans dan mencairkan uang untuk kepentingan Neneng.
"Terdakwa tahu dan ikut ambil peran yang diikuti suaminya M Nazaruddin dengan menempatkan beberapa perusahaan, satu yang utama dan yang lain sebagai pendamping untuk proyek PLTS di Depnakertran, selanjutnya mengubah spesifikasi pengadaan sehingga PT Alfindo menjadi pemenang tender yang justru tidak memasang sendiri PLTS malah mengalihkan ke PT Sundaya," ungkap hakim Made Hendra.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013