Para aktivis mahasiswa, aktivis lingkungan bersama sejumlah petani di Provinsi Bengkulu menyerukan penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Dalam aksi yang berujung pembubaran paksa oleh aparat kepolisian itu, para aktivis mendesak anggota legislatif turut bersuara menolak Omnibus Law.

Dalam aksi itu, Andy Wijaya, petani dari Desa Rawa Indah, Kabupaten Seluma mengatakan pemerintah seharusnya berpihak pada petani dengan menjamin proses produksi hingga menjamin stabilitas harga hasil pertanian.

"Kami meminta pemerintah berpihak kepada rakyat," katanya.

Olan Sahayu, Manajer Kampaye Kanopi menyoroti RUU Cipta Kerja, dia mengatakan kehadiran RUU ini mengancam hilangnya matapencaharian 1,1 juta jiwa petani di Bengkulu.

Selain karena masifnya penerbitan izin konsesi, krisis ekologis dan ketergantungan pemerintah dengan komoditi global dan tidakadanya jaminan harga hasil pertanian.

"RUU ini juga akan semakin memperdalam derita para petani," kata dia. 
 
Aktivis dan petani Bengkulu serukan tolak Omnibus Law. (Foto Antarabengkulu.com/Jumen J)

Dia juga menegaskan Omnibus Law adalah bahaya paling nyata para petani dimana pun. RUU ini tak ubahnya sebagai wujud lain dari liberalisasi tanah.

Kedepan, tanah-tanah produktif petani terus dirampas, petani terlempar dari ruang produksinya dan masuk lebih dalam pada situasi krisis yang multidimensional.

"Hari ini saja, praktik liberalisasi tanah telah berlangsung dan melahirkan beberapa konflik di berbagai wilayah provinsi Bengkulu," kata Olan.

Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2020 menyebutkan di Bengkulu ada 8 letusan konflik dengan jumlah luasan 6.484 hektare. Beberapa konflik agraria yang meletus adalah konflik antara rakyat di Seluma dengan PT Sandhabi Indah Lestari, konflik antara rakyat di Kulik Sialang, Kaur dengan PT Ciptamas Bumi Selaras, konflik antara rakyat di Malin Deman, Mukomuko dengan PT Daria Dharma Pratama (DDP). 

Uli Siagian, Direktur Genesis menambahkan sejatinya, potensi konflik agraria di Bengkulu lebih besar dari itu. Data Genesis Bengkulu menyebutkan ada 312 desa yang menjadi titik rawan konflik sebab bertumpang tindih dengan 28 izin usaha pertambangan dan 41 hak guna usaha perkebunan. Tersebar di kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Tengah, Seluma dan Kaur. 

"Karena itu, ditetapkannya RUU Cipta Kerja adalah bom waktu yang siap meledak," kata dia. 

Dia juga menjelaskan tentang masa izin HGU 90 tahun dalam RUU Cipta Kerja juga akan terus menerus mengancam kehidupan petani. 

Baca juga: Massa aksi demo tolak Omnibus Law di Bengkulu dibubarkan paksa

Baca juga: Seratusan supir truk batu bara di Bengkulu demo tuntut upah
 
Massa aksi demo tolak Omnibus Law di Bengkulu dibubarkan paksa. (Foto Antarabengkulu.com/Jumen J)


"Dua generasi keluarga petani kedepan akan terus hidup terjajah oleh perusahaan," jelasnya.

Di Bengkulu terdapat lima perusahaan dengan total luas konsesi 20.103 hektar yang akan habis masa berlaku HGU nya dalam rentan waktu 2020-2022. Artinya, ketika omnibuslaw disahkan dan negara mengakomodasi perpanjangan HGU perusahaan tersebut kelima perusahaan tersebut akan memperoleh izin untuk beroperasi hingga 90 tahun kedepan.

Uli menilai RUU ini juga menjadi cermin praktik ketidakadilan. Impunitas terhadap perusahaan dengan menghapus kewajiban perkebunan untuk mengusahakan lahan perkebunannya dan menghapus sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya juga akan memberikan peluang bagi perusahaan untuk melakukan praktik agunan konsesi izin di bank. 

"Hal ini tentunya juga akan semakin menghambat pelaksanaan reforma agraria," kata Uli.

Aksi demo itu kemudian berujung kericuhan. Berawal himbauan polisi meminta para demonstran bubar. Namun para demonstran itu tetap melakukan orasi. Akhirnya polisi mulai represif dengan menyemprotkan air watercanon, dan gas air mata. 

Pewarta: Jumentrio Jusmadi

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020