Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu Sri Hartati mengungkap sebanyak tiga juta ekor benur (benih lobster) asal Provinsi Bengkulu telah diekspor selama enam bulan terakhir.

"Saya tidak ingat persisnya tetapi angkanya hampir tiga juta ekor dan data itu kami peroleh dari aplikasi e-lobster dan dari Karantina ikan," kata dia di Bengkulu, Kamis.

Menurut dia, benih lobster itu sebagian besar merupakan hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Kaur dan sebagian lagi dikumpulkan dari nelayan di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu dan beberapa kabupaten lainnya.

Namun,  tambahnya, benih lobster itu tidak diekspor langsung dari Provinsi Bengkulu melainkan melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Sri mengaku tidak mengetahui ada berapa banyak perusahaan eksportir yang melakukan kegiatan usaha pengumpulan benur di Provinsi Bengkulu, karena mereka tidak melakukan pengurusan izin di pemerintah provinsi melainkan langsung ke pemerintah kabupaten dimana benur itu dikumpulkan.

Akibatnya, DKP Provinsi Bengkulu kesulitan melakukan pengawasan karena tidak berwenang menerbitkan surat keterangan asal benih (SKAB) yang menjadi salah satu syarat perusahaan eksportir bisa melakukan pengumpulan benih lobster.

"Jadi kabupaten yang mengeluarkan SKAB sehingga kami tidak tahu ada berapa banyak eksportir benur yang masuk ke Provinsi Bengkulu ini," ucapnya.

Selain itu, minimnya anggaran juga menjadi kendala pihaknya tidak melakukan pengawasan untuk memastikan agar pengumpulan benih lobster itu tidak dilakukan secara besar-besaran dan tetap mematuhi Peraturan Menteri KKP nomor 12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting dan rajungan.

Padahal, kata Sri, ada banyak praktik ekspor benur di Bengkulu yang tidak sesuai dengan yang diatur oleh Permen KKP nomor 12 tahun 2020 tersebut. Salah satunya seperti perusahaan eksportir tidak membuat tempat budidaya benur.

Ekspor benur yang terjadi di Bengkulu yaitu dimulai dari nelayan lokal mengumpulkan benih lobster, kemudian dibeli oleh perusahaan eksportir melalui rekanannya di Bengkulu, baru kemudian dikirim ke luar negeri.

"Seharusnya tidak boleh seperti itu. Seharusnya dia harus ada budidaya dulu di Bengkulu, harus ada pelepasliaran ke perairan setelah dibudidaya, baru kemudian diekspor. Tetapi yang terjadi tidak seperti itu," jelasnya.

Menurut dia, seharusnya kewenangan penerbitan SKAB itu diberikan ke pemerintah provinsi sehingga bisa dilakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap daerah-daerah penghasil lobster.

Selain itu, jika kewenangan itu diberikan ke pemerintah provinsi maka akan selaras dengan kebijakan lainnya seperti kewenangan mengeluarkan izin lokasi budidaya lobster dan penetapan lokasi pelepasliaran lobster yang kewenangannya ada di pemerintah provinsi.




 

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020