Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan masyarakat tentang tiga ciri umum yang membedakan antara pinjaman online (pinjol) legal dengan yang ilegal, sehingga perlu diwaspadai agar tidak terjerat renternir yang telah berkamuflase sebagai industri jasa keuangan resmi.

"Kalau dia adalah pinjol yang tidak berizin, ya dia mau suka-sukanya dia karena tidak ada otoritas. Itulah ekses dari digitalisasi. Dia bisa bikin usaha tanpa izin OJK. Bisa karena mereka hanya butuh izin dari google. Kalau Google membolehkan dia unggah di dalam 'play store'-nya, ya jadilah itu barang," papar Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Triyono menjelaskan dalam transkrip Seminar Daring Program Kemitraan Jurnalistik 2021 diterima Antara di Tulungagung, Jawa Timur, Selasa.

Disrupsi industri jasa keuangan berbasis aplikasi ini diakui Triyono menjadi dilema OJK. Pasalnya lebih banyak fintech atau pinjol abal-abal dan tidak memiliki otoritasi yang beroperasi dengan konsep "peer to peer lending".

Produk jasa keuangan langsung menyasar individu warga sebagai pasar atau pengguna jasa layanan mereka. Masalahnya tentu bisa ditebak. Banyak warga yang terjerat hutang pinjol ilegal dengan nominal tagihan jauh melebihi pokok pinjaman.

Parahnya lagi, mereka menggunakan cara-cara ilega untuk melakukan penagihan. Mulai menggunakan jasa penagih hutang, mencuri data kontak nasabah hingga teror yang berlebihan sehingga mempengaruhi psikologis setiap pengguna jasa keuangan yang terlambat melakukan pembayaran angsuran.

"(Sistem yang diterapkan google) Ini memang aturan yang kurang pas bagi OJK. Sebab selalu kuratif, tidak preventif. Seharusnya kan google tanya dulu ke OJK, kemudian kalau OJK oke baru diunggah. Kalau gak oke tidak diunggah. Ini gak bisa, semua harus diunggah dulu oleh google. Baru kalau ada laporan bermasalah ari kita, google 'take down' (turunkan) itu aplikasi (pinjol)," katanya.

Oleh karenanya, OJK selalu mengingatkan agar warga hati-hati dan seksama dalam mengidentifikasi pinjol resmi dan yang legal. Menurut Triyono, ada tiga ciri utama yang membedakan pinjol legal dengan yang ilegal.

Pertama, tagihan tidak boleh dua kali lipat melebihi pokok hutangnya. Pinjol legal atau yang berizin akan cenderung patuh terhadap rambu-rambu ini karena mereka diawasi oleh OJK.

Sementara pinjol ilegal atau tidak berizin memiliki perilaku sebaliknya. Dengan tenor pendek dan fee pinjaman tinggi (bisa sampai 40 persen dari jumlah pinjaman), tagihan bisa di atas dua kali bahkan belasan kali lipat dari pinjaman pokok.

"Kedua, pada fintech yang berizin di OJK. Akses tidak boleh lebih dari kamera, mikrofon dan lokasi. Tidak boleh mengakses kontak, gambar juga tidak boleh," lanjutnya.

Sedagkan pada pinjol tidak berizin, seluruh data pribadi nasabah disadap untuk kepentingan bisnis mereka.

Hal ini yang memungkinkan admin atau operator pinjol ilegal bisa mengakses orang-orang terdekat dari pengguna jasa tanpa izin dari nasabahnya.

"Dan ketiga suku bunga pada pinjol berizin tidak boleh lebih dari 0,8 persen per harinya," papar Triyono. Ketentuan itu bersifat mengikat, sehingga jika ada pinjol berizin yang melanggar, OJK akan segera bertindak. "Laporkan saja jika ada pinjol berizin (legal) yang berbuat curang terhadap nasabah. Kami pasti akan tindak. Kita abut izinnya. Selesai. Mereka pasti takut," katanya.

Hal ini berbeda jika praktik fintech dilakukan pinjol tidak berizin. OJK tidak bisa serta-merta melakukan tindakan. Suku bunga dan denda yang mereka berlakukan sangat tinggi, bahkan bisa mencapai 1-4 persen per hari.

"Fintech yang sudah terdaftar di OJK Insya Allah pasti baik. Karena ada regulasi yang mengikat mereka," tandas Triyono. 

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021