Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menegaskan pemerintah terus mengupayakan mempercepat pengakuan hutan adat dan sejauh ini hutan adat yang menjadi bagian dari perhutanan sosial telah mencapai 59.442 hektare (ha).
Menurut keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diterima di Jakarta pada Senin, sampai dengan Juli 2021 telah ditetapkan sebanyak 59.442 ha hutan adat yang menjadi bagian dari perhutanan sosial dengan jumlah SK sebanyak 80 unit yang mencakup 42.038 kepala keluarga.
"Selain itu wilayah indikatif hutan merupakan areal yang sudah jelas indikasi masyarakat adatnya dan sudah jelas arealnya yang tidak memungkinkan lagi untuk peruntukan lain, maka relatif aman. KLHK sedang terus upayakan fasilitasi bagi masyarakat adat dalam urusan hal-hal tersebut di pemerintah daerah sesuai UU Cipta Kerja. KLHK juga meminta bantuan aktivis adat untuk bersama menyelesaikan permasalahan tersebut, kita sedang kerja keras, termasuk masyarakat adat Danau Toba," ujar Menteri LHK Siti dalam keterangannya.
Menteri LHK mengatakan bahwa perlu adanya sinergi antar kementerian dan lembaga dengan isu masyarakat hukum adat (MHA) tidak bisa dilakukan oleh KLHK sendiri, karena ada subjek, budaya maupun kawasan bukan hutan yang berada di kewenangan yang berbeda.
Selain itu perlunya pemahaman pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai garda terdepan dalam upaya perlindungan MHA dan kearifan lokalnya melalui upaya-upaya identifikasi, dan verifikasi MHA yang ada di wilayahnya.
"Akses kelola hutan adat ini akan memberikan beberapa manfaat kepada masyarakat adat, yaitu penguatan pengelolaan hutan adat berdasarkan kearifan lokal yang telah teruji selama puluhan tahun," kata Siti.
Dia menambahkan bahwa salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan hutan adat adalah pemahaman bahwa penetapannya tidak berarti mengubah fungsi hutan, sebagaimana tercantum dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Artinya penetapan hutan adat harus mengarah untuk pengelolaan yang berkearifan lokal untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.
"Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegasnya.
Terkait perkembangan realisasi perhutanan sosial sendiri KLHK mencatat hingga Juli 2021 telah ada 4.720.474,89 ha izin perhutanan sosial yang diberikan dengan penerima manfaat sebanyak total 1.029.223 kepala keluarga, melalui 7.212 unit SK.
Perhutanan sosial juga menjadi salah satu bentuk pengembangan ekonomi hijau seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2021 dan pidato kenegaraan pada Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI pada hari ini.
Dengan perhutanan sosial, era sektor kehutanan yang pada era yang lampau didominasi eksploitasi komoditas kayu mulai digeser dengan model ekonomi baru yang lebih menghargai hutan secara tepat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Menurut keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diterima di Jakarta pada Senin, sampai dengan Juli 2021 telah ditetapkan sebanyak 59.442 ha hutan adat yang menjadi bagian dari perhutanan sosial dengan jumlah SK sebanyak 80 unit yang mencakup 42.038 kepala keluarga.
"Selain itu wilayah indikatif hutan merupakan areal yang sudah jelas indikasi masyarakat adatnya dan sudah jelas arealnya yang tidak memungkinkan lagi untuk peruntukan lain, maka relatif aman. KLHK sedang terus upayakan fasilitasi bagi masyarakat adat dalam urusan hal-hal tersebut di pemerintah daerah sesuai UU Cipta Kerja. KLHK juga meminta bantuan aktivis adat untuk bersama menyelesaikan permasalahan tersebut, kita sedang kerja keras, termasuk masyarakat adat Danau Toba," ujar Menteri LHK Siti dalam keterangannya.
Menteri LHK mengatakan bahwa perlu adanya sinergi antar kementerian dan lembaga dengan isu masyarakat hukum adat (MHA) tidak bisa dilakukan oleh KLHK sendiri, karena ada subjek, budaya maupun kawasan bukan hutan yang berada di kewenangan yang berbeda.
Selain itu perlunya pemahaman pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai garda terdepan dalam upaya perlindungan MHA dan kearifan lokalnya melalui upaya-upaya identifikasi, dan verifikasi MHA yang ada di wilayahnya.
"Akses kelola hutan adat ini akan memberikan beberapa manfaat kepada masyarakat adat, yaitu penguatan pengelolaan hutan adat berdasarkan kearifan lokal yang telah teruji selama puluhan tahun," kata Siti.
Dia menambahkan bahwa salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan hutan adat adalah pemahaman bahwa penetapannya tidak berarti mengubah fungsi hutan, sebagaimana tercantum dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Artinya penetapan hutan adat harus mengarah untuk pengelolaan yang berkearifan lokal untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.
"Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegasnya.
Terkait perkembangan realisasi perhutanan sosial sendiri KLHK mencatat hingga Juli 2021 telah ada 4.720.474,89 ha izin perhutanan sosial yang diberikan dengan penerima manfaat sebanyak total 1.029.223 kepala keluarga, melalui 7.212 unit SK.
Perhutanan sosial juga menjadi salah satu bentuk pengembangan ekonomi hijau seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2021 dan pidato kenegaraan pada Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI pada hari ini.
Dengan perhutanan sosial, era sektor kehutanan yang pada era yang lampau didominasi eksploitasi komoditas kayu mulai digeser dengan model ekonomi baru yang lebih menghargai hutan secara tepat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021