Ambon (Antara) - Letak geografis Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku dengan Papua yang sangat berdekatan tentunya membuat aneka jenis tumbuhan dan satwa endemik di kedua daerah ini memiliki kemiripan.

Burung cendrawasih atau burung surga yang ada di Pulau Irian juga bisa dijumpai di Kepulauan Aru yang sudah menjadi habitatnya karena didukug faktor iklim, hutan yang masih perawan hingga ketersediaan sumber makanan.

Satwa endemik Indonesia adalah hewan-hewan yang hanya ditemukan di Tanah Air dan tidak ditemukan di tempat lain. Bahkan tidak sedikit satwa endemik ini hanya ditemukan di satu pulau atau wilayah tertentu saja.

Kicauan aneka satwa endemik lainnya seperti burung nuri, kakatua raja berwarna hitam pekat, kakatua putih berjambul kuning untuk sementara waktu masih tetap eksis di habitatnya karena jarang ditemukan aksi pengrusakan hutan.

Aneka tumbuhan liar seperti pohon bakau, kasuari laut hingga jenis kayu besi di tengah hutan pulau-pulau Aru ini juga menjadi habitat aneka hewan lainnya seperti buaya muara, babi hutan, kus-kus, rusa, tikus tanah, kasuari dan kangguru yang oleh warga setempat disebut pelanduk juga masih mudah ditemukan di daerah ini.

Hutan Aru yang merupakan tempat berlindung satwa endemik terancam punah ini seharusnya mendapat perlindungan pemerintah, tapi justeru akan musnah dibabat habis untuk kepentingan pembukaan lahan perkebunan tebu oleh salah satu perusahaan bersama 28 persusahaan rekanan lainnya.

Kepulauan Aru yang memiliki delapan pulau terdepan Nusantara atau disebut pulau-pulau terluar karena berbatasan langsung dengan Australia ini hanya memiliki lahan seluas satu juta hektare lebih.

Sedangkan rencana pembukaan lahan untuk dijadikan perkebunan tebu berkisar antara 500 - 600 ribu hektare.

"Itu berarti lokasi lahan perkebunannya akan mencakup setengah dari luas wilayah kabupaten," kata Ketua komisi B DPRD Maluku, Max Pentury di Ambon, Rabu.

Padahal daerah itu tidak memiliki dataran yang tinggi dari permukaan laut berupa bukit atau gunung, kondisi tanahnya berpasir dan berlumpur dan yang terbesar hanyalah Pulau Wokam dan Kobror.

Perusahaan tersebut bersikeras melakukan survei untuk pembukaan lahan, karena mereka telah mengantongi izin resmi dari mantan Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko yang saat ini sedang menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung (Jabar).

Apalagi izin mantan Bupati ini juga diperkuat dengan rekomendasi mantan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu.

Max Pentury mengatakan, langkah Ralahalu yang menerbitkan rekomendasi ini memang benar tapi masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi Pemkab Kepulauan Aru untuk menerbitkan sebuah izin perkebunan.

Sesuai mekanisme yang berlaku, harusnya ada 15 item yang dipenuhi pemerintah daerah sebelum menerbitkan izin, tapi kelihatannya Pemkab Aru mengambil jalan pintas tanpa mempedulikan masalah lingkungan serta dampak sosial ekonomi bagi masyarakat.

Akibatnya timbul gejolak di masyarakat setempat, terutama para pemilik lahan yang menentang dengan keras kehadiran perusahaan itu  karena sejak awal tidak pernah ada sosialisasi.

Untuk itu Komisi B DPRD Maluku tetap akan mengupayakan pencabutan izin pembukaan lahan perkebunan tebu yang dikantongi salah satu perusahaan karena proses penertiban izinnya sudah menyalahi mekanisme undang-undang jadi perlu dicabut.

"Kalau pemerintah kabupaten tidak segera mencabut Izin Usaha Perkebunan (IUP) maka komisi akan mencari solusi lewat cara-cara hukum bersama masyarakat Aru untuk mencabut izin tersebut," ujarnya.

    
Perhatian Presiden
Reaksi penolakan berbagai komponen masyarakat di Kabupaten Kepuluan Aru terhadap kehadiran perusahaan itu bersama 28 perusahaan rekanannya ini juga berlangsung di Papua dan Kota Ambon.

Bahkan kalangan DPRD setempat juga menyatakan tidak bersedia menerima keharian perusahaan ini untuk membuka 'Rimba Tebu Aru' di hutan cendrawasih karena dampak lingkungannya di masa datang akan dirasakan generasi berikut.

Bahkan kalangan lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Sita Kena ikut mendesak pemerintah  dan meminta perhatian serius Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mencegah investor yang akan membuka lahan perkebunan tebu dalam skala besar di sana.

Selaku LSM yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup, kami minta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa memperhatikan rencana perusahaan itu yang akan membuka lahan perkebunan tebu seluas 6.000 hektare di daerah ini karena dampak kerusakan lingkungannya sangat besar," kata aktivis Yayasan Sita Kena Aru, Simon Kamsi.

Harapan LSM ini terkait dengan agenda pertemuan Presiden SBY bersama organisasi lingkungan hidup sedunia tanggal 7 Juni 2013, dimana kepala negara dengan tegas menyatakan bahwa hutan harus dijaga bersama.

"Sebagai aktivis dan pemerhati masalah lingkungan hidup, kami bersama-sama masyarakat dari ujung Batu Goyang sampai Warialau tetap menolak kehadiran perusahaan tersebut dan meminta kepala negara untuk melihat persoalan ini dan mencegahnya sejak dini," tandasnya.

Secara geografis, Kepulauan Aru merupakan kawasan dengan curah hujan cukup tinggi serta memiliki hutan lebat yang masih perawan dan dimenjadi tempat hunian aneka satwa endemik yang hampir punah.

"Apalagi kondisi tanah di daerah ini ada yang berawa-rawa, berpasir dan sebagian lagi berbatu karang, apa mungkin cocok dijadikan lahan perkebunan tebu," ujar Simon.

Bahkan pada pulau-pulau tertentu seperti Kabalsiang-Benjuring, Mariri atau Penambulai dan Batu goyang sendiri sulit mendapatkan sumber matar air yang bersih dan layak konsumsi.

Sehingga pemaksaan investor membuka lahan dengan cara membabat hutan tentunya akan menimbulkan kesengsaraan warga di masa datang akibat eksoistemnya hancur dan seluruh satwa endemiknya punah.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Aru, Jimmy Siarukin mengakui selama ini pihak perusahaan itu juga belum pernah melakukan pertemuan resmi dengan para wakil rakyat di daerah itu secara khusus untuk membahas rencana membuka perkebunan tebu.

Pimpinan dan anggota DPRD Aru juga telah melakukan kunjungan ke berbagai pulau dan mendapat penjelasan langsung dari masyarakat yang mengaku tidak tahu ada rencana pembukaan lahan tebu, dan umumnya mereka melakukan penolakan.

Kemudian orang-orang dari perusahaan itu yang melakukan survei lapangan hanya mengaku kepada warga kalau mereka sedang mencari sumber air bersih, namun tidak pernah menyebutkan rencana besar mereka.

Pengalaman membuktikan, rencana pembukaan pabrik semen di Laimu, Kecamatan Tehoru (Pulau Seram) Kabupaten Maluku Tengah beberapa tahun lalu ternyata nihil, setelah lahan dibabat habis dan kayu-kayunya dijual ke luar daerah.

Hal serupa juga bisa dijumpai pada beberapa lokasi lainnya di Pulau Seram seperti rencana membuka perkebunan coklat atau kelapa sawit, dimana lahannya dibersihkan lalu semua kayu dijual, setelah itu lahannya dibiarkan kosong hingga terjadi banjir dan longsor ketika musim hujan tiba.

Pengalaman sejarah yang pahit seperti ini membuat warga di Kepulauan Aru juga jadi khawatir akan persoalan serupa, sebab hutan yang menjadi habitat burung cendrawasih dan aneka satwa endemik lainnya akan disulap menjadi rimba tebu yang luasnya mencakup setengah dari besaran wilayah Kepulauan Aru.

Pewarta: Oleh Daniel Leonard

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013