Bengkulu (Antara Bengkulu) - Pembudidaya ikan lele di Kota Bengkulu
mulai mengembangkan model "Biolfoc", budidaya ikan air tawar menggunakan
bakteri khusus yang dapat mengurai amonia menjadi protein.
"Budidaya ikan lele yang selama ini dikenal bau dapat diatasi dengan sistem ini, sebab amonia penyebab bau dapat diurai kembali menjadi protein," kata Pembudiya Ikan Lele Kota Bengkulu Joni Irwan di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan hal itu saat memberikan pelatihan budidaya ikan lele sistem "biofloc" kepada aktivis lingkungan hidup setempat.
Biofloc berasal dari kata bios atau kehidupan dan floc yang berarti gumpalan, sehingga biofloc berarti gumpalan yang tersusun atas mikroorganisme, bahan organik dan mineral.
"Mikroorganisme ini berfungsi memotong rantai peptida protein, populasi bakteri di pakan dan meningkatkan daya cerna," katanya.
Dampaknya, akan terjadi peningkatan daya serap nutrisi ke dalam ikan sehingga mengoptimalkan penyerapan pakan.
Lebih lanjut ia mengatakan dengan sistem biofloc, modal untuk pakan dapat dihemat sekitar 30 persen.
Perbandingan dengan cara konvensional, biaya pembesaran Rp15.000-Rp16.000 per kilogram sedangkan dengan biofloc Rp10.900 per kilogram.
"Sedangkan harga jual Rp17.000 per kilogram, sehingga pembudidaya lele konvensional terbebani, maka sistem biofloc sangat tepat," ujarnya.
Irwan mengatakan tingginya modal sistem konvensional membuat produksi lele di Bengkulu hanya dapat memenuhi 50 persen kebutuhan lokal dan separuhnya didatangkan dari Lampung dan Sumatra Selatan.
Keuntungan lain yang diperoleh dari sistem biofloc adalah kualitas daging tanpa lemak sehingga harga jual lebih tinggi daripada ikan sistem konvensional.
Menurutnya, permasalahan utama penyebarluasan model tersebut yakni transfer teknologi dan perlu bimbingan dalam aplikasi.
"Kalau sudah banyak yang mengaplikasikan ini, dan misalnya terjadi lonjakan produksi lele Kota Bengkulu maka perlu diversifikasi produk turunannya," katanya.
Ia mencontohkan di Pulau Jawa, ikan lele sudah diolah menjadi 40 jenis produk, sedangkan di Bengkulu hanya satu jenis yakni ikan salai.
Selain ditransfer kepada lembaga lingkungan hidup dan pendampingan masyarakat di Bengkulu, model budidaya ini juga akan dibagikan ke masyarakat pesisir di daerah itu. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Budidaya ikan lele yang selama ini dikenal bau dapat diatasi dengan sistem ini, sebab amonia penyebab bau dapat diurai kembali menjadi protein," kata Pembudiya Ikan Lele Kota Bengkulu Joni Irwan di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan hal itu saat memberikan pelatihan budidaya ikan lele sistem "biofloc" kepada aktivis lingkungan hidup setempat.
Biofloc berasal dari kata bios atau kehidupan dan floc yang berarti gumpalan, sehingga biofloc berarti gumpalan yang tersusun atas mikroorganisme, bahan organik dan mineral.
"Mikroorganisme ini berfungsi memotong rantai peptida protein, populasi bakteri di pakan dan meningkatkan daya cerna," katanya.
Dampaknya, akan terjadi peningkatan daya serap nutrisi ke dalam ikan sehingga mengoptimalkan penyerapan pakan.
Lebih lanjut ia mengatakan dengan sistem biofloc, modal untuk pakan dapat dihemat sekitar 30 persen.
Perbandingan dengan cara konvensional, biaya pembesaran Rp15.000-Rp16.000 per kilogram sedangkan dengan biofloc Rp10.900 per kilogram.
"Sedangkan harga jual Rp17.000 per kilogram, sehingga pembudidaya lele konvensional terbebani, maka sistem biofloc sangat tepat," ujarnya.
Irwan mengatakan tingginya modal sistem konvensional membuat produksi lele di Bengkulu hanya dapat memenuhi 50 persen kebutuhan lokal dan separuhnya didatangkan dari Lampung dan Sumatra Selatan.
Keuntungan lain yang diperoleh dari sistem biofloc adalah kualitas daging tanpa lemak sehingga harga jual lebih tinggi daripada ikan sistem konvensional.
Menurutnya, permasalahan utama penyebarluasan model tersebut yakni transfer teknologi dan perlu bimbingan dalam aplikasi.
"Kalau sudah banyak yang mengaplikasikan ini, dan misalnya terjadi lonjakan produksi lele Kota Bengkulu maka perlu diversifikasi produk turunannya," katanya.
Ia mencontohkan di Pulau Jawa, ikan lele sudah diolah menjadi 40 jenis produk, sedangkan di Bengkulu hanya satu jenis yakni ikan salai.
Selain ditransfer kepada lembaga lingkungan hidup dan pendampingan masyarakat di Bengkulu, model budidaya ini juga akan dibagikan ke masyarakat pesisir di daerah itu. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013