Para peneliti dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) memaparkan hasil riset dampak operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera, termasuk satwa langka dilindungi harimau Sumatera (Phantera tigris Sumatrae) dan gajah Sumatera (Elephas maximus Sumatranus).

"PLTU batu bara baik yang telah beroperasi maupun yang sedang dalam perencanaan mengancam keanekaragaman hayati khususnya di wilayah Sumatera," kata Koordinator AEER, Pius Ginting dalam konferensi pers dengan topik "Menilai ancaman PLTU terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera"  yang digelar dalam jaringan, Kamis.

Dari hasil kajian Departemen Keanekaragaman Hayati AEER kata dia, operasi dan rencana proyek PLTU batu bara turut mengancam kepunahan sejumlah satwa khas Sumatera seperti harimau, gajah, beruang madu, ikan belida, macan dahan, kukang, elang brontok dan ikan arwana.

Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada pemerintah agar mengganti PLTU yang masih direncanakan dan belum memasuki tahap rekonstruksi dengan penggunaan energi terbarukan guna mencegah kerusakan habitat satwa langka akibat PLTU dan tambang batu bara. 

"Kami juga mendesak pemerintah agar PLTU yang beroperasi yang paling merusak keanekaragaman hayati untuk pensiun dini dan segera menjajaki kerjasama internasional untuk pengembangan energi terbarukan," kata Pius.

Menurutnya, langkah menghentikan PLTU dan membatalkan rencana proyek PLTU batu bara baru merupakan bagian program sinergi adaptasi dan pemulihan keanekaragaman hayati. 

Saat ini kata Pius berdasarkan data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 terdapat sekitar 28 PLTU batu bara yang tersebar di wilayah Pulau Sumatera.

Rinciannya adalah 14 PLTU yang telah beroperasi, 6 PLTU dalam konstruksi dan 8 PLTU yang belum dibangun.

Sementara Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan ini mengatakan operasi PLTU batu bara Teluk Sepang, Bengkulu diduga telah merusak keanekaragaman hayati di kawasan Pulau Baai.

"Kami menduga kerusakan lingkungan akibat operasi PLTU batu bara Teluk Sepang yang membuat 28 ekor penyu mati di perairan Pulau Baai," kata Ali.

Ia menambahkan bahwa limbah atau air bahang pembakaran batu bara yang dibuang ke laut menyebabkan terumbu karang yang menjadi benteng terakhir dalam melawan abrasi pantai perlahan-lahan rusak. 

Narasumber berikutnya, Direktur Lembaga Tiga Beradik Jambi, Hardi Yuda menjelaskan bahwa hingga 2019 ada sekitar 36 perusahaan tambang batu bara di Kabupaten Sorolangun, Jambi yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). 

"Ada 14 tambang di Kecamatan Pauh dan Kecamatan Mandi Angin yang aktif mengeksploitasi dan bisa dibayangkan dampaknya bagi keanekaragaman hayati," ujarnya. 

Keberadaan PLTU 1 di Provinsi Jambi menurut Yuda berada di wilayah jelajah gajah dan harimau serta habitat satwa langka lainnya serta dekat dengan wilayah Suku Anak Dalam. 

Sementara Mullah Oges dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMuR) Aceh Barat menambahkan operasi PLTU batu bara di Nagan Raya dikhawatirkan memperparah kerusakan habitat gajah Sumatera di wilayah itu.

"Karena izin usaha pertambangan batu bara yang memasok kebutuhan PLTU Nagan Raya berada di habitat gajah seluas 2.000 hektare," kata Oges.

Pewarta: Anggi Mayasari

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021