Jakarta (ANTARA) - Pengkampanye Asia Timur Greenpeace dari Kantor Seoul Minwoo Son menegaskan teknologi termaju ultra super critical (USC) sekalipun tidak dapat mengurangi dampak polusi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara terhadap kesehatan.
Minwoo kepada ANTARA di Jakarta, Selasa mengatakan Pemerintah Korsel menyatakan akan meningkatkan hingga 35 persen penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di 2040. Bersamaan dengan itu mereka akan mengurangi jumlah PLTU batubara yang beroperasi di sana dari 45 persen total keseluruhan ke sekitar 20 persen saja.
Namun demikian mereka tidak pernah menyebutkan bagaimana kebijakan pengurangan emisi GRK itu untuk diterapkan di luar negeri.
Sekalipun mereka menepis soal standar ganda kebijakan iklim dengan menyebutkan menginvestasikan teknologi PLTU termaju, Minwoo mengatakan itu tidak lah benar. Negaranya telah mengeluarkan dana besar untuk investasi teknologi pembangkit listrik batubara termaju di dunia untuk domestik, namun tetap menghasilkan polutan udara yang berbahaya.
Sekalipun menggunakan teknologi boiler Ultra Super Critical (USC) plus fasilitas teknologi pengurang polusi, menurut dia, mereka tetap gagal untuk mengontrol polusi udara di sana.
“Jadi sangat jelas, satu-satunya solusi hanya menutup PLTU tersebut,” ujar Minwoo usai memberikan keterangan pers bersama Greenpeace Indonesia di Jakarta, Senin(25/11).
Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Timur Mari Chang melalui keterangan tertulisnya mengatakan pada 2017, Presiden Moon Jae-In dan pemerintahannya mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengizinkan pembangkit listrik batubara baru di negara itu.
Namun antara Januari 2013 hingga Agustus 2019, pemerintah Korea Selatan telah menghabiskan dana tujuh triliun Won Korea (sekitar 5,7 miliar dolar AS) untuk pembangkit batubara di luar negeri dengan batas emisi yang buruk. Standar ganda ini mengancam ribuan nyawa dan planet Bumi sehingga harus dihentikan, ujar Mari.
Menurut dia, sudah waktunya Korsel untuk tidak hanya menerapkan standar energi bersih domestik pada investasi asing, tetapi juga segera beralih dari pembiayaan batubara kotor ke sumber energi terbarukan. Perubahan dalam kebijakan dan investasi ini harus terjadi sekarang untuk melindungi kesehatan manusia dan masa depan planet Bumi.
Analisis dan pemodelan kantor Greenpeace Asia Timur, Seoul, menemukan 10 pembangkit listrik yang didanai oleh PFA Korea Selatan (KEXIM, K-Sure, KDB) yang diperkirakan dapat menyebabkan 47.000-151.000 kematian dini selama rata-rata umur 30 tahun pembangkit listrik jika beroperasi pada batas emisi lokal yang ada.
Vietnam diprediksi menjadi negara yang paling terkena dampak yang membawa 38 persen dari total beban kematian, diikuti oleh Indonesia 29 persen dan Bangladesh 20 persen.
Batas emisi untuk polutan udara berbahaya memungkinkan pembangkit listrik tenaga batubara yang dibiayai Korsel di luar negeri mengeluarkan 18,6 kali lebih banyak nitrogen oksida (NOx), 11,5 kali lebih banyak sulfur dioksida (SO2) dan polusi debu 33 kali lebih banyak daripada yang dibangun di negaranya.
Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mengatakan prediksi angka kematian dini tersebut bisa ditekan jika Indonesia menerapkan standar emisi untuk pembangkit termal yang lebih ketat, atau minimal sama dengan yang diterapkan di Korea Selatan.
Pada saat bersamaan, Indonesia harus menghentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan secara bertahap menutup pembangkit yang sudah beroperasi. Sehingga tidak ada lagi berpotensi meracuni warga dan membebani keuangan negara melalui naiknya biaya kesehatan.