Perempuan pengidap HIV-Aids rentan menjadi korban diskriminasi baik oleh pasangan bahkan keluarga hingga layanan kesehatan.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2019 menyebutkan angka perempuan dengan HIV-Aids mencapai 132.147 kasus dan diantaranya adalah ibu rumah tangga yang tertular dari pasangan atau suaminya. 

"Kebanyakan orang melihat konteks HIV-Aids itu hanya dari segi moralitas, padahal banyak sekali dari mereka adalah korban, baik laki-laki maupun perempuan," kata Ayu Oktarini dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) yang juga merupakan pendamping kasus isu HIV-Aids saat webinar melalui streaming sosial media, Kamis.

Ia mengatakan pada 2011, IPPI melakukan penelitian berbasis komunitas kepada 122 perempuan yang hidup dengan HIV di 8 kota dan menemukan banyak kasus kekerasan pada perempuan yang hidup dengan HIV-Aids.

"Pada mereka yang terlibat studi ini ditemukan perempuan dengan HIV-Aids 64 persen mendapatkan kekerasan, diantaranya sterilisasi paksa 14 persen, kekerasan seksual 30 persen, jenis kekerasan lainnya 25 persen, dan kekerasan psikologis 32 persen," katanya.

Ia mengatakan, sterilisasi yang dilakukan oleh tenaga medis kepada perempuan HIV-AIDS terkesan dipaksakan.

Ia melanjutkan bahwa dari tahun 2011 penelitian itu dilakukan hingga hari ini upayanya memang sudah membaik tapi banyak tenaga kesehatan (nakes) punya perspektif bahwa perempuan dengan HIV sebaiknya tidak perlu punya anak lagi, sehingga disterilisasikan saja.

"Saat ini pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) yang ada di Kemenkes RI itu sudah mencantumkan tentang aturan yang melarang keras sterilisasi, tapi di layanan kesehatan masih banyak sekali nakes yang secara kelihatan baik-baik, tapi terus-menerus mendorong penawaran sterilisasi pada perempuan HIV yang hendak melahirkan," katanya.

Pewarta: Chairil Ansyorie

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021