Pamekasan (Antara) - Tari "Can-Macanan" yang merupakan tari-tarian tradisional khas Madura sejenis tari barongsai turut memeriahkan Pawai Budaya Madura di Pamekasan, Jawa Timur, Minggu.

Jenis tari tradisional yang berkolaborasi dengan Musik Daul itu mampu memikat ribuan warga yang menyaksikan pawai yang digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-3 Yayasan Seni Budaya Madura Landhep Semmo, pimpinan anggota DPRD Pamekasan, Iskandar.

"Tari 'can-macanan' ini sebenarnya merupakan jenis kesenian tradisional yang banyak digemari masyarakat perdesaan, tapi saat ini sudah bisa dinikmati masyarakat perkotaan," kata Iskandar yang juga Ketua Yayasan Seni Budaya Madura Landhep Semmo itu.

Tari 'can-macanan' seperti tari barongsai pada kesenian tradisional etnik Tionghoa. Jenis musik pengiring yang dimainkan keduanya sama, yakni gamelan.

Tradisi memperlakukan keduanya, yakni tari 'can-macanan' dan tari barongsai juga sama, yakni memberikan "angpao" (amplop/uang). Selain itu, jenis kesenian tradisional ini juga biasa dipentaskan saat pawai dan sebagian warga mementaskan di tempat tertentu.

Bedanya, barongsai terkesan bisa lebih bergerak lincah, karena penggiat seni yang bermain di dalam barongsai itu memang dituntut untuk memiliki kemampuan teknis khusus, sedangkan 'can-macanan' tidak.

"Selain dipentaskan saat pawai, tari 'can-macanan' selama ini sering dipentaskan pada acara penutupan atraksi pencak silat di desa-desa," terang Iskandar.

Ketua Komisi A DPRD Pamekasan ini menjelaskan pada acara pagelaran pawai seni budaya Madura kali ini, pihaknya sengaja menampilkan tari 'can-macanan' untuk memperkenalkan kepada masyarakat kota, mengingat sebagian warga sudah tidak mengenal tari tradisional itu.

Padahal, sambung dia, jenis tari ini merupakan jenis tari asli Madura dan menjadi salah satu kekayaan kesenian yang ada di "Pulau Garam" Madura.

Selain tari tradisional Madura 'can-macanan', jenis tari lain yang juga dipentaskan pada acara pawai budaya Madura dalam rangka HUT ke-3 Yayasan Seni Budaya Madura Landhep Semmo itu adalah tari ondel-ondel.

Menurut Ketua Panitia Pelaksana Sutomo, jenis tari tradisional itu sengaja dipentaskan di acara Pawai Budaya Madura itu karena lucu dan banyak diminati kalangan anak-anak.

"Kebutuhan hiburan anak-anak dalam bidang seni budaya kami pertimbangkan, karena untuk bisa mewariskan seni budaya leluhur, pertama memang harus suka dulu terhadap kesenian tradisional," katanya menjelaskan.

Sebanyak delapan kelompok Musik Tradisional Daul memeriahkan pawai budaya pada Hari Ulang
Tahun (HUT) ke-3 Yayasan Seni dan Budaya Madura, Landhep Semmo, Minggu (5/1).

Kedelapan kelompok musik tradisional daul itu meliputi kelompok musik daul Kuda Hitam asal Desa Bunder, Kecamatan Pademawu; kelompok musik Singo Barong asal Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan; Lanceng Jokotole asal Desa Pademawu Bara;t dan kelompok musik daul Putra Bungsu asak Desa Sopaan, Kecamatan Pademawu, Pamekasan.

Selanjutnya kelompok musik tradisional daul Accen Comunity asal Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan; kelompok musik daul Optimis asal Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan; dan kelompok musik daul Putra Semanggi, asal Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Pamekasan.

Selain dimeriahkan delapan kelompok musik daul, HUT ke-3 Yayasan Seni dan Budaya Madura Landhen Semmo ini juga dimeriahkan oleh musik karawitan dari sanggar seni Puta Pamelingan dari SMP Negeri 8 Pamekasan. Semua jenis kelompok musik tradisional itu merupakan binaan Yayasan Seni Budaya Madura Landhep Semmo.

Yayasan "Landhep Semmo" ini didirikan 5 Januari 2012 atau tiga tahun lalu oleh sembilan orang dari berbagai kabupaten di Madura dengan tujuan untuk melestarikan khazanah budaya, tradisi dan kesenian tradisional yang akhir-akhir ini cenderung mulai memudar karena tergerus modernisasi.

Mereka itu terdiri dari berbagai profesi, seperti seniman, budayawan, akademisi, penulis buku dan wartawan di Pulau Madura.

Ada beberapa program strategis yang dicanangkan yayasan yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian seni budaya tradisional yang ada di Pulau Madura ini.

Program yang dimaksud antara lain membentuk kelompok pemuda dan pemudi yang berbasis seni dan budaya Madura, serta menyediakan akses dan jaringan karya seni dan budaya sebagai sebuah konsep wisata.

Program lainnya, membentuk Sanggar Seni Madura Raya sebagai ruang aktualisasi bagi pegiat dan pekerja seni.

"Visi kami adalah terwujudnya seniman dan budayawan Madura yang produktif, adil makmur dan sejahtera, serta lestarinya seni dan budaya Madura," kata Iskandar menjelaskan.

Nama "Landhep Semmo" sendiri merupakan istilah dari sebuah pola pendidikan yang biasa diterapkan orang tua kepada anak-anaknya di kalangan masyarakat Madura pada zaman dahulu.

"Landhep" merupakan bahasa Madura berarti bersikap rendah, tidak congkak dan atau santun, sedang "Semmo" berarti samar, tidak jelas dan bisa pula bermakna kiasan.

Artinya, pendidikan "landhep semmo" ini merupakan pola pendidikan atau wejangan yang disampaikan guru kepada murid atau orang tua kepada anak secara semu, tidak langsung atau berbentuk kiasan.

Di kalangan orang tua, pola pendidikan "landhep semmo" ini biasanya disampaikan kepada anak saat mengingatkan anak-anaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau bisa mencemarkan nama baik keluarganya.

"Dulu, orang tua itu biasa mengingatkan, nak, kalau pulang sekolah jangan melempar buah mangga orang lain, nanti akan mengenai kepala saya," kata Iskandar mencontohkan.

Si anak, kata dia, akan menyangkal, sebab dalam nalar pendek dia, tidak mungkin batu yang dilempar ke buah mangga milik orang lain dengan jarak yang sangat jauh dari rumah orang tuanya itu akan mengenai badan, apalagi kepalanya orang tuanya.

Namun, ketika perbuatan itu dilakukan, dan pemiliknya mengetahui mangganya dilempar si anak itu, kata-kata kasar akibat marah dengan ulah perbuatan si anak akhirnya tak terhindari.

"Jangankan si pemilik mangga itu mengucapkan kata-kata kasar tentang orang tuanya, mempertanyakan kepada si anak dia itu anaknya siapa, itu sama dengan melempar batu dan mengenai orang tuanya dari sisi perasaan," kata Iskandar.

Pola pendidikan seperti ini, kata dia, tidak hanya membuat si anak tahu, akan tetapi akan memahami secara filosofis petuah yang disampaikan orang tuanya.

"Jadi selain ingin melestarikan seni budaya Madura, kami juga ingin melestarikan nilai tradisi positif yang ada di Madura ini, sehingga Madura tidak hanya dikenal sebagai masyarakat yang suka carok, tapi lebih dari itu, masyarakat harus paham akan sisi baik yang ada di Madura ini," katanya.

Sejak didirikan, yayasan ini juga telah banyak melakukan berbagai jenis kegiatan dalam rangka mempromusikan, serta melestarikan berbagai jenis kesenian dan budaya Madura.

Seperti memperkenalkan musik tradisional daul bagi mahasiswa dan kampus-kampus di luar Madura, serta membina kelompok generasi muda Madura untuk memahami tentang jenis musik tradisional.  (Antara)

Pewarta: Oleh Abd Aziz

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014