Jakarta (Antara) - Kebijakan pengalokasian dana subsidi energi yang mencapai Rp300 triliun per tahun ibarat membuang garam ke laut, artinya tidak terlalu efektif dan tidak berbekas.

"Subsidi itu 'killing' (membunuh). Sangat memberatkan anggaran, sehingga secara perlahan harus dikurangi," kata Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo setelah berbicara pada seminar "Quo Vadis Sistem Tata Kelola Gas Indonesia" di Jakarta, Rabu.

Menurut Susilo, dana subsidi memang tidak dapat dihapuskan begitu saja, tetapi harus tetap ada upaya untuk mulai menguranginya.

Ia menambahkan jika dana subsidi sebesar Rp300 trilun tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur maka akan sangat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Susilo juga berpendapat bahwa dana subsidi sesar Rp300 triliun per tahun itu, bila dibelikan kapal selam akan dapat sebanyak 20 unit, yang bisa mempertahankan keamanan nusantara.

"Kalau kita memperkuat sistem keamanan, maka negara lain seperti Australia akan segan kepada Indonesia," katanya.

Susilo juga berargumen bahwa pengurangan subsidi juga dapat mendukung pendanaan pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) yang saat ini masih belum jelas penyelesaiannya.

"Pembangunan JSS hanya membutuhkan dana sekitar Rp150 triliun. Intinya, dana subsidi bisa untuk ragam keperluan seperti infrastruktur, penguatan alutsista," ujarnya.

    
Tata kelola gas

Sementara itu Ketua Pengkajian Energi UI Prof Dr Iwa Garniwa mengatakan salah satu upaya untuk mengurangi subsidi energi dibutuhkan kemampuan mengatas permasalahan sistem tata kelola gas di Indonesia.

"Perlu langkah taktis dan cepat menguraikan permasalahan sistem tata kelola gas, yang kenyataannya terdapat tumpang tindih dalam Undang-Undang," ujarnya.

Iwa menjelaskan, Indonesia bukanlah negara kaya akan energi fosl seperti minyak, gas dan batubara.

Merujuk data BPS, angka cadangan minyak di Indonesia sebesar 0,2 persen dan gas sebesar 1,6 persen dari cadangan seluruh dunia.

"Namun sampai saat ini kebijakan pemerintah masih mengandalkan energi fosil sebagai devisa negara di mana lebih 50 persen produksi gas Indonesia diekspor," katanya.

Ia menambahkan penggunaan gas baik untuk industri, listrik dan rumah tangga belum optimal sehingga perlu dikelola dengan baik dan diatur sesuai kebutuhan dalam negeri demi mencapai ketahanan energi nasional dalam bauran energi.

"Undang-undang serta peraturan turunannya tidak mampu meningkatkan pembangunan infrastruktur gas di dalam negeri, sehingga penyaluran dari sumber ke konsumen belum merata," katanya.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014