Padang (Antara) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di sejumlah titik di Provinsi Riau mencapai Rp 10 triliun sejak Januari hingga Maret 2014.
"Ini masih ekonomi di Riau saja, belum termasuk dari provinsi lain seperti Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Selatan (Sumsel), Sumatera Utara (Sumut), dan Jambi yang menerima dampaknya," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, di Padang, Senin.
Ia menjelaskan kebakaran tersebut juga terjadi di cagar biosfir yang hidup sejumlah hidup hewan dilindungi seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera , Tapir, dan Beruang. Di samping itu, asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan mengakibatkan emisi Co2 yang demikian pekat sehingga berpengaruh terhadap meningkatnya tempratur bumi.
"Sebanyak 58 ribu penduduk juga menjadi sakit akibat asap ini. Kalau itu dijumlahkan kerugian tentu banyak sekali dan lebih besar daripada Pendapetan Asli Daerah (PAD) sektor lokal," katanya
Ia menyebutkan areal yang terbakar di Riau adalalah kawasan konservasi seluas 2.398 ha yang terdiri atas 922,5 Hektare Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, 373 Hektar Suaka Margasatwa Kerumutan, 80,5 Hektar Taman Wisata Alam Sungai Dumai, 95 Hektar Taman Nasional Tesso Nello, 9 Hektar cagar alam Bukit Bungkuk dan 867,5 hektar area penggunaan non kawasan hutan.
"Ini masih masih yang teridentifikas. Belum lagi titik-titik yang tidak terjangkau oleh Satuan Tugas (Satgas) sebab sulitnya akses menuju derah tersebut karena jauh dari jalan, harus melalui sungai, parit, dan tidak ada akses komunikasi sehingga menghitungnya sulit," katanya.
Saat ini, lanjutnya penegak hukum tengah menangani 40 kasus pembakaran lahan yang melibatkan 60 tersangka. Tujuh di antaranya dalam proses penyelidikan, 33 dalam penyidikan, dan lima orang buron. Polisi juga menyidik perusahaan PT. NSP.
"Untuk penaggulangan ini kuncinya adalah penegakan hukum. Selama ini belum dilakukan, ini (pembakaran hutan) akan terjadi terus terjadi," katanya..
Ia mengatakan modus pembakaran hutan dan lahan di Riau ini adalah efisiensi. Jika pembukaan lahan dilakukan dengan membakar biaya yang diperlukan hanya Rp200 hingga 300 ribu per hektar. Sementara jika dilakukan menggunakan peralatan menghabiskan biaya dari Rp4 hingga 5juta per hektar.
Di samping itu terdapat modus illega logging yakni ada sindikat yang mendatangkan masyarakat dari Sumut untuk menebang dan membakar kawasan biosfir. Mereka dijanjikan lahan seluas dua hektar. "Jika lahan sudah bagus, perusahaan akan membelinya. Tapi ini sudah ditangani Polda Riau," katanya.
Akibat kebakaran itu, kawasan wilayah Sumbar umumnya menerima dampak kabut asap dari provinsi teresebut. Dari 19 kota/ kabupaten di Sumbar, kadar udara di 10 daerah dikategorikan tidak sehat. Pemerintah Sumbar juga mengeluarkan status siaga darurat kabut asap hingga 31 Maret 2014. Di Pasaman Barat, tercatat 3.000 ribuan warga terkena Inspeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumbar, Yazid Fadhil menyebutkan penetapan status tanggap darurat ini dikeluarkan dengan indikator kualitas udara yang sudah melewati ambang batas serta mengganggu transportasi.
"Untuk sekolah, kebijakan meliburkan diberikan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota masing-masing. Pemerintah daerah (Pemda) juga diwajibkan melakukan tes rutin kondisi udara setiap hari," katanya.
Selain itu, warga untuk mengurangi aktivitas di luar rumah dan menggunakan menggunakan masker jika berkatifitas di tengah kabut asap. "Kami juga mengimbau BPBD kabupaten dan kota untuk membentuk posko serta menyiapkan stok masker, serta membagi-bagikan masker tersebut kepada masyarakat, terutama bagi warga yang rentan gangguan pernapasan, katanya. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Ini masih ekonomi di Riau saja, belum termasuk dari provinsi lain seperti Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Selatan (Sumsel), Sumatera Utara (Sumut), dan Jambi yang menerima dampaknya," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, di Padang, Senin.
Ia menjelaskan kebakaran tersebut juga terjadi di cagar biosfir yang hidup sejumlah hidup hewan dilindungi seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera , Tapir, dan Beruang. Di samping itu, asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan mengakibatkan emisi Co2 yang demikian pekat sehingga berpengaruh terhadap meningkatnya tempratur bumi.
"Sebanyak 58 ribu penduduk juga menjadi sakit akibat asap ini. Kalau itu dijumlahkan kerugian tentu banyak sekali dan lebih besar daripada Pendapetan Asli Daerah (PAD) sektor lokal," katanya
Ia menyebutkan areal yang terbakar di Riau adalalah kawasan konservasi seluas 2.398 ha yang terdiri atas 922,5 Hektare Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, 373 Hektar Suaka Margasatwa Kerumutan, 80,5 Hektar Taman Wisata Alam Sungai Dumai, 95 Hektar Taman Nasional Tesso Nello, 9 Hektar cagar alam Bukit Bungkuk dan 867,5 hektar area penggunaan non kawasan hutan.
"Ini masih masih yang teridentifikas. Belum lagi titik-titik yang tidak terjangkau oleh Satuan Tugas (Satgas) sebab sulitnya akses menuju derah tersebut karena jauh dari jalan, harus melalui sungai, parit, dan tidak ada akses komunikasi sehingga menghitungnya sulit," katanya.
Saat ini, lanjutnya penegak hukum tengah menangani 40 kasus pembakaran lahan yang melibatkan 60 tersangka. Tujuh di antaranya dalam proses penyelidikan, 33 dalam penyidikan, dan lima orang buron. Polisi juga menyidik perusahaan PT. NSP.
"Untuk penaggulangan ini kuncinya adalah penegakan hukum. Selama ini belum dilakukan, ini (pembakaran hutan) akan terjadi terus terjadi," katanya..
Ia mengatakan modus pembakaran hutan dan lahan di Riau ini adalah efisiensi. Jika pembukaan lahan dilakukan dengan membakar biaya yang diperlukan hanya Rp200 hingga 300 ribu per hektar. Sementara jika dilakukan menggunakan peralatan menghabiskan biaya dari Rp4 hingga 5juta per hektar.
Di samping itu terdapat modus illega logging yakni ada sindikat yang mendatangkan masyarakat dari Sumut untuk menebang dan membakar kawasan biosfir. Mereka dijanjikan lahan seluas dua hektar. "Jika lahan sudah bagus, perusahaan akan membelinya. Tapi ini sudah ditangani Polda Riau," katanya.
Akibat kebakaran itu, kawasan wilayah Sumbar umumnya menerima dampak kabut asap dari provinsi teresebut. Dari 19 kota/ kabupaten di Sumbar, kadar udara di 10 daerah dikategorikan tidak sehat. Pemerintah Sumbar juga mengeluarkan status siaga darurat kabut asap hingga 31 Maret 2014. Di Pasaman Barat, tercatat 3.000 ribuan warga terkena Inspeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumbar, Yazid Fadhil menyebutkan penetapan status tanggap darurat ini dikeluarkan dengan indikator kualitas udara yang sudah melewati ambang batas serta mengganggu transportasi.
"Untuk sekolah, kebijakan meliburkan diberikan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota masing-masing. Pemerintah daerah (Pemda) juga diwajibkan melakukan tes rutin kondisi udara setiap hari," katanya.
Selain itu, warga untuk mengurangi aktivitas di luar rumah dan menggunakan menggunakan masker jika berkatifitas di tengah kabut asap. "Kami juga mengimbau BPBD kabupaten dan kota untuk membentuk posko serta menyiapkan stok masker, serta membagi-bagikan masker tersebut kepada masyarakat, terutama bagi warga yang rentan gangguan pernapasan, katanya. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014