Denpasar (Antara) - Bentara Budaya Bali (BBB) bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis Jakarta kembali menggelar program Sinema mengisahkan perjalanan dua sosok maestro yang mewarnai sejarah seni rupa Bali.
"Pemutaran film Bali tempo dulu Rudolf Bonnet dan Arie Smit ini merupakan cerita dunia seni rupa yang diisi dengan diskusi menampilkan pembicara Kun Adnyana, dosen ISI Denpasar yang sedang menyelesaikan S-3 program pascasarjana ISI Yogyakarta akan berlangsung Jumat malam (25/4)," kata staf BBB (lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia) Putu Aryasthawa yang menata kegiatan tersebut di Denpasar, Kamis.
Kedua seniman warga negara asing itu pernah bermukim di Bali dalam menghasilkan karya-karya seni lukis yang bermutu, hingga mengantarkan dirinya mendunia.
"Kisah perjalanan dua sosok yang turut mewarnai sejarah seni rupa Bali ini dapat disimak dalam dua sinema yang digarap dengan cukup serius. Selain itu juga akan diperkaya dengan sesi diskusi yang terbuka untuk umum secara cuma-cuma," ujar Putu Aryasthawa.
Wayan Kun Adnyana (35), seniman yang juga pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia (FSRD ISI) akan mengulas sosok Bonnet dan Arie Smit dalam tahapan transformasi dunia seni rupa Bali.
Hal itu sekaligus menjawab kapan sejatinya kreatif masyarakat Bali menemukan momentum penting dan bagaimana proses itu berlangsung.
"Sesungguhnya tidak mudah untuk memastikan bagaimana jejak sejarah seni rupa Bali di masa lampau, terutama jika dirunut hingga ke masa Bali Kuno, ditandai dengan kehadiran pahatan ataupun wujud rupa di sarkofagus, hingga pengaruh Hindu Buddha yang belakangan memasuki Pulau Dewata," ujar Putu Aryasthawa.
Salah satu prasasti Raja Dharmmodayana Warmadewa pada tahun saka 944 (1022 masehi) menerangkan istilah citrakara, atau pelukis, yang hak dan kewajibannya sama dengan undagi kayu, undagi watu, pangarung (tukang gali terowongan) dan çulpika (ahli pahat).
Meskipun demikian sulit ditemukan jejak karya lukis Bali Kuno itu. Tidak ada temuan mengenai lukisan-lukisan itu sampai sekarang, dan beberapa peneliti bahkan mengajukan hipotesa bahwa seni lukis Bali berdekatan dengan seni pahat berupa ukiran-ukiran hiasan atau relief di pura-pura Bali Kuno.
Relief tersebut antara lain terdapat di Pura Tegeh Koripan, Kabupaten Bangli, Pura Penataran Sasih, Goa Gajah, Kutri dan aneka arca yang tersebar di Pejeng dan Bedulu, Kabupaten Gianyar.
Oleh sebab itu akan lebih mudah jika merunut perkembangan peran dan karya para pelukis Bali dari era pertengahan, setelah masuknya Majapahit hingga kurun waktu berikutnya.
Putu Aryasthawa menjelaskan, ikon figuratif dan grafis pewayangan dalam tema-tema Hindu mulai jelas terlihat, serta beberapa di antaranya masih lestari sampai sekarang.
Untuk itu Bentara Kebudayaan Bali bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, akan memutar film Bali tempo dulu tentang seri biografi dokumenter Bonnet dan Arie Smit. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Pemutaran film Bali tempo dulu Rudolf Bonnet dan Arie Smit ini merupakan cerita dunia seni rupa yang diisi dengan diskusi menampilkan pembicara Kun Adnyana, dosen ISI Denpasar yang sedang menyelesaikan S-3 program pascasarjana ISI Yogyakarta akan berlangsung Jumat malam (25/4)," kata staf BBB (lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia) Putu Aryasthawa yang menata kegiatan tersebut di Denpasar, Kamis.
Kedua seniman warga negara asing itu pernah bermukim di Bali dalam menghasilkan karya-karya seni lukis yang bermutu, hingga mengantarkan dirinya mendunia.
"Kisah perjalanan dua sosok yang turut mewarnai sejarah seni rupa Bali ini dapat disimak dalam dua sinema yang digarap dengan cukup serius. Selain itu juga akan diperkaya dengan sesi diskusi yang terbuka untuk umum secara cuma-cuma," ujar Putu Aryasthawa.
Wayan Kun Adnyana (35), seniman yang juga pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Seni Indonesia (FSRD ISI) akan mengulas sosok Bonnet dan Arie Smit dalam tahapan transformasi dunia seni rupa Bali.
Hal itu sekaligus menjawab kapan sejatinya kreatif masyarakat Bali menemukan momentum penting dan bagaimana proses itu berlangsung.
"Sesungguhnya tidak mudah untuk memastikan bagaimana jejak sejarah seni rupa Bali di masa lampau, terutama jika dirunut hingga ke masa Bali Kuno, ditandai dengan kehadiran pahatan ataupun wujud rupa di sarkofagus, hingga pengaruh Hindu Buddha yang belakangan memasuki Pulau Dewata," ujar Putu Aryasthawa.
Salah satu prasasti Raja Dharmmodayana Warmadewa pada tahun saka 944 (1022 masehi) menerangkan istilah citrakara, atau pelukis, yang hak dan kewajibannya sama dengan undagi kayu, undagi watu, pangarung (tukang gali terowongan) dan çulpika (ahli pahat).
Meskipun demikian sulit ditemukan jejak karya lukis Bali Kuno itu. Tidak ada temuan mengenai lukisan-lukisan itu sampai sekarang, dan beberapa peneliti bahkan mengajukan hipotesa bahwa seni lukis Bali berdekatan dengan seni pahat berupa ukiran-ukiran hiasan atau relief di pura-pura Bali Kuno.
Relief tersebut antara lain terdapat di Pura Tegeh Koripan, Kabupaten Bangli, Pura Penataran Sasih, Goa Gajah, Kutri dan aneka arca yang tersebar di Pejeng dan Bedulu, Kabupaten Gianyar.
Oleh sebab itu akan lebih mudah jika merunut perkembangan peran dan karya para pelukis Bali dari era pertengahan, setelah masuknya Majapahit hingga kurun waktu berikutnya.
Putu Aryasthawa menjelaskan, ikon figuratif dan grafis pewayangan dalam tema-tema Hindu mulai jelas terlihat, serta beberapa di antaranya masih lestari sampai sekarang.
Untuk itu Bentara Kebudayaan Bali bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, akan memutar film Bali tempo dulu tentang seri biografi dokumenter Bonnet dan Arie Smit. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014