Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan jumlah anak yang lahir dari satu pasangan suami istri dapat mempengaruhi pembentukan keluarga yang berkualitas, baik dari sisi kesehatan maupun emosionalnya.
“Jika dalam satu keluarga punya banyak anak, yang bekerja hanya satu orang, misal hanya bapaknya saja, sementara yang lain menjadi tanggungan dan belum bisa bekerja, itu bukanlah bonus demografi. Ini justru malapetaka demografi,” kata Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.
Hasto menekankan kondisi sosial sudah sangat jauh berbeda dengan masa lalu. Pola pikir seperti “banyak anak, banyak rezeki” sudah tak berlaku dan harus dihentikan dalam masyarakat, karena memiliki lebih dari satu atau dua anak dalam keluarga tidak dapat disebut sebagai bonus demografi.
Sebab, bonus demografi hanya bisa dicapai bila menghasilkan kesejahteraan di dalam keluarga. Artinya, jumlah anggota keluarga yang produktif harus lebih banyak dari anggota yang tidak produktif.
Jumlah anak yang banyak juga berisiko memperlebar potensi kekerdilan pada anak (stunting). Anak yang stunting mengalami kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi dan infeksi penyakit yang berulang akibat stimulasi lingkungan kurang mendukung. Kondisi itu berefek jangka panjang hingga lanjut usia.
Contohnya, yang terjadi di Kampung Siderang Legok, Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Jawa Barat yang terkenal sebagai “Kampung Banyak Anak”. Di kampung itu, mayoritas warga bekerja sebagai petani musiman, namun satu keluarga rata-rata memiliki anak lebih dari 10 orang.
Akibatnya, anak yang mengalami stunting di daerah itu cukup tinggi, bahkan daerah itu membuat angka kekerdilan di Provinsi Jawa Barat mencapai 24 persen lebih. Persentase angka kekerdilan itu menjadikan Jawa Barat dalam 12 provinsi dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Indonesia, karena banyaknya anak dalam satu keluarga, jarak kelahiran yang sangat rapat dan pernikahan dini.
“Data yang diperoleh BKKBN selama pandemi COVID-19, pernikahan dini di Jawa Barat mengalami peningkatan. Perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting, karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan,” ucap Hasto.
Dengan demikian, kata Hasto, hal yang justru lebih diperlukan oleh keluarga pada masa kini adalah memperbaharui paradigma terkait Keluarga Berencana (KB). Masyarakat perlu memahami bahwa KB tidak hanya berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi saja, tetapi juga perencanaan keluarga dan masa depan anak-anak yang cerdas, sehat dan berkualitas.
Pemerintah juga sedang menjalankan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB) sebagai suatu upaya terciptanya unit-unit keluarga yang mandiri, tentram, tangguh, sehat dan damai.
“Oleh sebab itu, saya berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus mempertahankan dukungannya terhadap Penyuluh KB non-PNS,” ujar dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022