Bandung (Antara) - Panyair Matdon meluncurkan buku puisi "Ustadz Televisi" sarat kritik sosial serta metafor bagi berbagai hal yang dibangun oleh kecenderungan media televisi.
"Buku ini adalah kritik sosial bagi siapa saja, tidak hanya ustadz," kata Matdon di Bandung, Selasa.
Dia yakin tidak semua ustadz seperti yang digambarkan dalam puisi, ada ustadz yang biasa tampil di televisi dengan baik dan tidak neko-neko.
Menurut dia, buku puisi itu kumpulan buku puisi tunggal ke-7 yabf berisi kurang dari 50 puisi dan diterbitkan oleh Teko Publishing kerja sama dengan Majelis Sastra Bandung (MSB) Publishing.
Buku sebelumya Persetubuhan Bathin (bersama penyair Dedy Koral), Garis Langit, Mailbox, Kepada Penyair Anjing, Benterang (bersama Atasi Amin dan Anton D. Sumartana) dan Sakarotul Cinta.
Sebagian dari puisi yang ada dalam buku ini sudah dipublish di media cetak yang ditulis antara rentang waktu 2009-2014.
"Puisi sarat kritik, dan tentu saja ada beberapa puisi cinta, sebagai pelengkap, salah satunya Pucuk Kenangan," kata Matdon yang juga Rois Am Majelis Sastra Bandung, komunitas sastra yang didirikannya bersama beberapa rekannya.
Selain menjadi penyair, Matdon juga masih aktif sebagai jurnalis di salah satu situs berita di Kota Bandung. Selain itu beberapa eseinya yang dipublis adalah esai "Birahi Budaya" (2012/2013). Sementara puisinya juga terdapat di buku antologi bersama Maha Duka Aceh, Di Atas Viaduct, JILFEST, Temu Sastrawan Indonesia di Ternate, Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi.
Sementara itu seniman Bandung, Heri Dym menyatakan judul "Ustadz Televisi" mengharuskannya memberi tanda jempol. Itu bukanlah tanda jempol basa-basi demi menyenangkan penulisnya, melainkan pengakuan bahwa sajak ini betul-betul impresif.
"Kesan yang paling kuat, tentu saja, manakala kata ustadz yang disandingkan dengan televisi. Saya menangkap adanya paradoks yang begitu kuat antara dunia nilai, pendidikan, dan ajaran yang berhadapan langsung dengan dunia tak tersentuh dan artifisial," katanya.
Kebetulan pula setelah sajak ini 'diluncurkan' di fesbuk, bermunculan kasus-kasus beberapa ustadz yang melenceng dari prinsip nilai, pendidikan, dan ajaran. Ketika itu pula, setidaknya bagi saya, kata "ustadz" itu menjadi memiliki dua daya sekaligus yaitu dalam arti langsung (denotatif) dan sebagai metafor.
Menurut dia ustadz di sisi denotatif adalah sosok yang seperti umumnya kita fahami yaitu seseorang yang lazimnya berada di dalam tradisi pendidikan keagamaan (Islam), yang ternyata 'belum tentu' merupakan pusat kebenaran malah seyogianya seperti kemanusiaan lainnya yaitu hal yang terbuka bagi kritik.
"Ia pun metafor bagi berbagai hal yang dibangun oleh kecenderungan media televisi. Seperti kita ketahui, disengaja atau pun tak sengaja, televisi seolah-olah telah nenjadi pusat segala kebenaran, penyihir kesadaran publik dan penentu nilai-nilai," katanya.
Berkenaan dengan itu hingga muncul pameo "as seen on tv." Makna dari pameo tersebut adalah sihir bahwa apa yang terlihat di tv itu pasti yang terbaik, paling unggul dan istimewa.
"Sajak ini dalam tataran metafor terasa sekali tenaganya berkekuatan untuk mendekonstruksi fanomena itu. Atau setidak-tidaknya berfungsi sebagai 'alarm' yang menyatakan tak selamanya tv itu benar dan terbaik," katanya. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Buku ini adalah kritik sosial bagi siapa saja, tidak hanya ustadz," kata Matdon di Bandung, Selasa.
Dia yakin tidak semua ustadz seperti yang digambarkan dalam puisi, ada ustadz yang biasa tampil di televisi dengan baik dan tidak neko-neko.
Menurut dia, buku puisi itu kumpulan buku puisi tunggal ke-7 yabf berisi kurang dari 50 puisi dan diterbitkan oleh Teko Publishing kerja sama dengan Majelis Sastra Bandung (MSB) Publishing.
Buku sebelumya Persetubuhan Bathin (bersama penyair Dedy Koral), Garis Langit, Mailbox, Kepada Penyair Anjing, Benterang (bersama Atasi Amin dan Anton D. Sumartana) dan Sakarotul Cinta.
Sebagian dari puisi yang ada dalam buku ini sudah dipublish di media cetak yang ditulis antara rentang waktu 2009-2014.
"Puisi sarat kritik, dan tentu saja ada beberapa puisi cinta, sebagai pelengkap, salah satunya Pucuk Kenangan," kata Matdon yang juga Rois Am Majelis Sastra Bandung, komunitas sastra yang didirikannya bersama beberapa rekannya.
Selain menjadi penyair, Matdon juga masih aktif sebagai jurnalis di salah satu situs berita di Kota Bandung. Selain itu beberapa eseinya yang dipublis adalah esai "Birahi Budaya" (2012/2013). Sementara puisinya juga terdapat di buku antologi bersama Maha Duka Aceh, Di Atas Viaduct, JILFEST, Temu Sastrawan Indonesia di Ternate, Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi.
Sementara itu seniman Bandung, Heri Dym menyatakan judul "Ustadz Televisi" mengharuskannya memberi tanda jempol. Itu bukanlah tanda jempol basa-basi demi menyenangkan penulisnya, melainkan pengakuan bahwa sajak ini betul-betul impresif.
"Kesan yang paling kuat, tentu saja, manakala kata ustadz yang disandingkan dengan televisi. Saya menangkap adanya paradoks yang begitu kuat antara dunia nilai, pendidikan, dan ajaran yang berhadapan langsung dengan dunia tak tersentuh dan artifisial," katanya.
Kebetulan pula setelah sajak ini 'diluncurkan' di fesbuk, bermunculan kasus-kasus beberapa ustadz yang melenceng dari prinsip nilai, pendidikan, dan ajaran. Ketika itu pula, setidaknya bagi saya, kata "ustadz" itu menjadi memiliki dua daya sekaligus yaitu dalam arti langsung (denotatif) dan sebagai metafor.
Menurut dia ustadz di sisi denotatif adalah sosok yang seperti umumnya kita fahami yaitu seseorang yang lazimnya berada di dalam tradisi pendidikan keagamaan (Islam), yang ternyata 'belum tentu' merupakan pusat kebenaran malah seyogianya seperti kemanusiaan lainnya yaitu hal yang terbuka bagi kritik.
"Ia pun metafor bagi berbagai hal yang dibangun oleh kecenderungan media televisi. Seperti kita ketahui, disengaja atau pun tak sengaja, televisi seolah-olah telah nenjadi pusat segala kebenaran, penyihir kesadaran publik dan penentu nilai-nilai," katanya.
Berkenaan dengan itu hingga muncul pameo "as seen on tv." Makna dari pameo tersebut adalah sihir bahwa apa yang terlihat di tv itu pasti yang terbaik, paling unggul dan istimewa.
"Sajak ini dalam tataran metafor terasa sekali tenaganya berkekuatan untuk mendekonstruksi fanomena itu. Atau setidak-tidaknya berfungsi sebagai 'alarm' yang menyatakan tak selamanya tv itu benar dan terbaik," katanya. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014