Palu (Antara) - Keberadaan dua jensi anoa yaitu Bubalus quarlesi dan Bubalus depressicornis di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) semakin berkurang sehingga perlu dibangun penangkaran untuk menyelamatkan satwa endemik Sulawesi itu dari kepunahan, kata seorang peneliti.
"Jika masyarakat terus memburunya, maka tidak mustahil mamalia yang dilindungi itu akan punah," kata Idris Tinulele, peneliti muda mamalia di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu.
Idris yang sejak 2.000 aktif dan gencar melakukan kegiatan penelitian khusus burung di TNLL itu, mengatakan cukup prihatin atas populasi satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sulawesi, termasuk Sulteng.
"Sangat disayangkan kalau anoa sampai benar-benar punah," katanya.
Dia mengaku anoa yang pada era 70-80an masih banyak ditemukan di beberapa titik di dalam Kawasan Taman Nasional, kini sudah hampir tidak terlihat lagi.
Mungkin masih ada, tetapi habitatnya sudah jauh di dalam hutan dan jumlahnyapun hampir punah karena banyak diburu masyarakat baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kemungkinan diperdagangkan.
Padahal, anoa merupakan salah satu dari sejumlah satwa endemik Sulawesi yang patut untuk dilindungi dari ancaman kepunahan.
Menurut dia, salah satu antisipasi agar populasi anoa kembali bisa ditingkatkan yakni melalui sistem penangkaran seperti halnya yang dilakukan pihak Balai Besar TNLL terhadap satwa lainnya (burung maleo dan tarsius).
"Saya sangat mendukung sekali, jika ada penangkaran anoa dan satwa lainya guna menyelematkan dari kepunahan akibat perburuan," kata peneliti jeblosan Universitas Tadulako (Untad) Palu itu.
Sementara Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan Balai Besar TNLL, Yulianto membenarkan populasi anoa dalam beberapa kurun waktu terakhir ini terus berkurang karena terus diburu masyarakat.
Ia mengatakan beberapa tahun silam, jumlah populasi anoa di TNLL masih berkisar 1.000 ekor. "Tapi sekarang ini hasil penelitian pada 2013 tinggal sekitar 140 ekor," katanya.
Berkurangnya populasi anoa dalam kurun beberapa tahun ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang memburu untuk dikonsumsi.
Anoa yang ada di Kawasan TNLL terdiri atas dua jenis, yaitu yang bulunya hitam (Bubalus quarlessi) dan yang bulucnya cokeat (Bbalus capricornus).
Anoa berbulu hitam kebanyakan hidup dan berkembang di dataran rendah dan berusuhu suhu cukup dingin.
Sementara anoa cokelat yang tubuhnya agak lebih kecil memilih hidup dan berkembangbiak di dataran tinggi yang jauh dari jangkauan manusia.
Perkembangbiakan anoa hampir sama seperti sapi biasa dengan masa kehamilan enam hingga delapan bulan. Jika dalam keadaan sehat, anoa bisa melahirkan dua ekor anak.
Ia juga berharap masyarakat di sekitar Kawasan taman Nasional tidak lagi memburu satwa yang dilindungi tersebut dan sebaliknya ikut menjaga dan melindunginya agar populasi kembali meningkat. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Jika masyarakat terus memburunya, maka tidak mustahil mamalia yang dilindungi itu akan punah," kata Idris Tinulele, peneliti muda mamalia di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu.
Idris yang sejak 2.000 aktif dan gencar melakukan kegiatan penelitian khusus burung di TNLL itu, mengatakan cukup prihatin atas populasi satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sulawesi, termasuk Sulteng.
"Sangat disayangkan kalau anoa sampai benar-benar punah," katanya.
Dia mengaku anoa yang pada era 70-80an masih banyak ditemukan di beberapa titik di dalam Kawasan Taman Nasional, kini sudah hampir tidak terlihat lagi.
Mungkin masih ada, tetapi habitatnya sudah jauh di dalam hutan dan jumlahnyapun hampir punah karena banyak diburu masyarakat baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun kemungkinan diperdagangkan.
Padahal, anoa merupakan salah satu dari sejumlah satwa endemik Sulawesi yang patut untuk dilindungi dari ancaman kepunahan.
Menurut dia, salah satu antisipasi agar populasi anoa kembali bisa ditingkatkan yakni melalui sistem penangkaran seperti halnya yang dilakukan pihak Balai Besar TNLL terhadap satwa lainnya (burung maleo dan tarsius).
"Saya sangat mendukung sekali, jika ada penangkaran anoa dan satwa lainya guna menyelematkan dari kepunahan akibat perburuan," kata peneliti jeblosan Universitas Tadulako (Untad) Palu itu.
Sementara Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan Balai Besar TNLL, Yulianto membenarkan populasi anoa dalam beberapa kurun waktu terakhir ini terus berkurang karena terus diburu masyarakat.
Ia mengatakan beberapa tahun silam, jumlah populasi anoa di TNLL masih berkisar 1.000 ekor. "Tapi sekarang ini hasil penelitian pada 2013 tinggal sekitar 140 ekor," katanya.
Berkurangnya populasi anoa dalam kurun beberapa tahun ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang memburu untuk dikonsumsi.
Anoa yang ada di Kawasan TNLL terdiri atas dua jenis, yaitu yang bulunya hitam (Bubalus quarlessi) dan yang bulucnya cokeat (Bbalus capricornus).
Anoa berbulu hitam kebanyakan hidup dan berkembang di dataran rendah dan berusuhu suhu cukup dingin.
Sementara anoa cokelat yang tubuhnya agak lebih kecil memilih hidup dan berkembangbiak di dataran tinggi yang jauh dari jangkauan manusia.
Perkembangbiakan anoa hampir sama seperti sapi biasa dengan masa kehamilan enam hingga delapan bulan. Jika dalam keadaan sehat, anoa bisa melahirkan dua ekor anak.
Ia juga berharap masyarakat di sekitar Kawasan taman Nasional tidak lagi memburu satwa yang dilindungi tersebut dan sebaliknya ikut menjaga dan melindunginya agar populasi kembali meningkat. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014