Kalangan petani kopi di dataran tinggi Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, mengatasi dampak perubahan iklim terhadap tanaman dengan pola tanam organik.
"Perubahan iklim yang sekarang terjadi tentu berdampak pada tanaman kopi. Namun, kami mengatasi dengan menerapkan pola tanam organik," kata Bahtiar Gayo, petani kopi di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, yang dihubungi dari Banda Aceh, Minggu.
Bahtiar mengatakan dampak perubahan iklim terhadap tanaman kini dirasakan petani kopi di dataran tinggi Gayo, meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah sejak satu dekade atau 10 tahun terakhir.
Dampak tersebut, di antaranya perubahan tanaman seperti kini sering berbunga, namun jarang menjadi buah. Kondisi ini tentu merugikan karena setiap tanaman berbunga, petani berharap menjadi buah.
"Begitu juga dengan produktivitas dan kualitas tanaman. Hal ini membuat kami mencari berbagai cara mengatasinya. Dan setelah kami mencoba pola tanam organik, hasilnya menggembirakan," kata Bahtiar Gayo.
Menurut Bahtiar, kendati kini terjadi perubahan iklim, produktivitas dan kualitas buah yang dihasilkan tergantung kepada perawatan tanaman. Semakin serius petani merawat tanaman, tentu hasilnya juga semakin bagus.
"Kebun kopi menggunakan pola tanam organik bisa dilihat dari kondisi tanah di sekitar tanaman banyak organisme pengurai tanah seperti cacing, pacet, dan lainnya," kata Bahtiar Gayo menyebutkan.
Pola tanam organik yang dilakukan, kata Bahtiar, menggunakan pupuk alami, seperti campuran kompos. Begitu juga dengan pembasmi hama, juga menggunakan cairan yang tidak mengandung unsur kimia.
"Kami juga memberikan cairan yang biasa disebut poding. Cairan tersebut terbuat dari campuran susu murni, air kelapa, dan bahan alami lainnya. Kemudian difermentasi dalam waktu tertentu dan disemprotkan ke daun secara berkala," kata Bahtiar Gayo
Hasil pemberian cairan tersebut, kata Bahtiar, daun terlihat lebih segar, batang tanaman juga tampak bagus, serta produktivitas tanaman juga meningkat dengan masa panen besar dua kali setahun dan panen kecil bisa dua minggu sekali.
"Kalau panen besar biasa pada April dan Oktober, menghasilkan kopi berkisar 700 hingga 800 kilogram per hektare. Sedangkan panen kecil bisa berkisar 12-15 kilogram biji kopi," kata Bahtiar Gayo.
Senada juga diungkapkan Lamuddin, pegiat lingkungan di dataran tinggi Gayo dari Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, yang juga pernah masuk nominasi penerima Kalpataru pada 2020, ia mengatakan perubahan juga berdampak pada tanaman kopi.
"Tanaman kopi lebih sering berbunga, namun jarang menjadi buah. Kondisi seperti itu terjadi sejak delapan tahun terakhir, kata Lamuddin.
Kondisi ini berdampak pada produktivitas tanaman yang semakin menurun. Kalau dulu, biji kopinya jarang yang tunggal, sekarang banyak yang tunggal.
"Begitu juga daun, kalau dulu, tanamannya rimbun, sekarang daun baru hanya di ujung dahan," kata Lamuddin.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Petani kopi atasi dampak perubahan iklim dengan pola tanam organik
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
"Perubahan iklim yang sekarang terjadi tentu berdampak pada tanaman kopi. Namun, kami mengatasi dengan menerapkan pola tanam organik," kata Bahtiar Gayo, petani kopi di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, yang dihubungi dari Banda Aceh, Minggu.
Bahtiar mengatakan dampak perubahan iklim terhadap tanaman kini dirasakan petani kopi di dataran tinggi Gayo, meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah sejak satu dekade atau 10 tahun terakhir.
Dampak tersebut, di antaranya perubahan tanaman seperti kini sering berbunga, namun jarang menjadi buah. Kondisi ini tentu merugikan karena setiap tanaman berbunga, petani berharap menjadi buah.
"Begitu juga dengan produktivitas dan kualitas tanaman. Hal ini membuat kami mencari berbagai cara mengatasinya. Dan setelah kami mencoba pola tanam organik, hasilnya menggembirakan," kata Bahtiar Gayo.
Menurut Bahtiar, kendati kini terjadi perubahan iklim, produktivitas dan kualitas buah yang dihasilkan tergantung kepada perawatan tanaman. Semakin serius petani merawat tanaman, tentu hasilnya juga semakin bagus.
"Kebun kopi menggunakan pola tanam organik bisa dilihat dari kondisi tanah di sekitar tanaman banyak organisme pengurai tanah seperti cacing, pacet, dan lainnya," kata Bahtiar Gayo menyebutkan.
Pola tanam organik yang dilakukan, kata Bahtiar, menggunakan pupuk alami, seperti campuran kompos. Begitu juga dengan pembasmi hama, juga menggunakan cairan yang tidak mengandung unsur kimia.
"Kami juga memberikan cairan yang biasa disebut poding. Cairan tersebut terbuat dari campuran susu murni, air kelapa, dan bahan alami lainnya. Kemudian difermentasi dalam waktu tertentu dan disemprotkan ke daun secara berkala," kata Bahtiar Gayo
Hasil pemberian cairan tersebut, kata Bahtiar, daun terlihat lebih segar, batang tanaman juga tampak bagus, serta produktivitas tanaman juga meningkat dengan masa panen besar dua kali setahun dan panen kecil bisa dua minggu sekali.
"Kalau panen besar biasa pada April dan Oktober, menghasilkan kopi berkisar 700 hingga 800 kilogram per hektare. Sedangkan panen kecil bisa berkisar 12-15 kilogram biji kopi," kata Bahtiar Gayo.
Senada juga diungkapkan Lamuddin, pegiat lingkungan di dataran tinggi Gayo dari Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, yang juga pernah masuk nominasi penerima Kalpataru pada 2020, ia mengatakan perubahan juga berdampak pada tanaman kopi.
"Tanaman kopi lebih sering berbunga, namun jarang menjadi buah. Kondisi seperti itu terjadi sejak delapan tahun terakhir, kata Lamuddin.
Kondisi ini berdampak pada produktivitas tanaman yang semakin menurun. Kalau dulu, biji kopinya jarang yang tunggal, sekarang banyak yang tunggal.
"Begitu juga daun, kalau dulu, tanamannya rimbun, sekarang daun baru hanya di ujung dahan," kata Lamuddin.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Petani kopi atasi dampak perubahan iklim dengan pola tanam organik
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023