Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menjelaskan penyebab adanya kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meskipun meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Padahal sudah diperiksa oleh BPK, opininya WTP tapi kepala daerahnya kena OTT," kata anggota VII BPK RI Hendra Susanto di Padang, Selasa.
Hendra tidak menampik bahwasanya ada kepala daerah yang berhasil meraih opini WTP, namun setelah itu terjaring OTT KPK atau tersandung kasus dugaan korupsi, sehingga diperiksa kejaksaan atau kepolisian.
Ia mengatakan tidak ada korelasi antara opini WTP dengan kasus pidana (korupsi) yang menjerat seorang kepala daerah. Artinya, kendati telah meraih predikat tersebut bukan berarti kepala daerah bisa langsung dikatakan bebas dari praktik korupsi.
"Dia sudah wajar bukan dia sudah benar. Artinya, masih ada celah salah maksimum lima persen," sebut dia.
Hendra menjelaskan saat dilakukan pemeriksaan BPK hanya melihat hal-hal yang dinilai paling signifikan. Alasannya, lembaga pemeriksaan keuangan tersebut terkendala sumber daya manusia (SDM) jika dibandingkan luasnya sektor yang akan diperiksa.
"Meskipun telah menetapkan skala prioritas, kasus yang terjadi adalah sampel yang tidak sempat diperiksa BPK tersebut menjadi temuan oleh pihak kejaksaan atau kepolisian," ujarnya.
Menurut dia, beberapa hal yang mungkin luput dari pemeriksaan BPK RI tersebut diharapkan peran serta Inspektorat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan aparatur penegak hukum bisa memantau atau memeriksanya.
"Sehingga, celah atau potensi tindakan korupsi di setiap daerah dapat dicegah atau diantisipasi melalui kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
"Padahal sudah diperiksa oleh BPK, opininya WTP tapi kepala daerahnya kena OTT," kata anggota VII BPK RI Hendra Susanto di Padang, Selasa.
Hendra tidak menampik bahwasanya ada kepala daerah yang berhasil meraih opini WTP, namun setelah itu terjaring OTT KPK atau tersandung kasus dugaan korupsi, sehingga diperiksa kejaksaan atau kepolisian.
Ia mengatakan tidak ada korelasi antara opini WTP dengan kasus pidana (korupsi) yang menjerat seorang kepala daerah. Artinya, kendati telah meraih predikat tersebut bukan berarti kepala daerah bisa langsung dikatakan bebas dari praktik korupsi.
"Dia sudah wajar bukan dia sudah benar. Artinya, masih ada celah salah maksimum lima persen," sebut dia.
Hendra menjelaskan saat dilakukan pemeriksaan BPK hanya melihat hal-hal yang dinilai paling signifikan. Alasannya, lembaga pemeriksaan keuangan tersebut terkendala sumber daya manusia (SDM) jika dibandingkan luasnya sektor yang akan diperiksa.
"Meskipun telah menetapkan skala prioritas, kasus yang terjadi adalah sampel yang tidak sempat diperiksa BPK tersebut menjadi temuan oleh pihak kejaksaan atau kepolisian," ujarnya.
Menurut dia, beberapa hal yang mungkin luput dari pemeriksaan BPK RI tersebut diharapkan peran serta Inspektorat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan aparatur penegak hukum bisa memantau atau memeriksanya.
"Sehingga, celah atau potensi tindakan korupsi di setiap daerah dapat dicegah atau diantisipasi melalui kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023