Depok, Jawa Barat (Antara) - Posisi Indonesia dilema menghadapi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) internasional karena terikat dengan kesepakatan bilateral ataupun regional antarnegara, kata Kepala Bidang Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional HAM Elfansuri.  

"Posisi Indonesia dilema, di satu sisi berharap pelanggaran HAM di suatu negara bisa diselesaikan dan menyeret pelakunya ke pengadilan, namun di sisi lain harus menghormati batas-batas hubungan antarnegara," ujar Elfansuri di Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu.

Hal ini disampaikannya dalam seminar dan dialog internasional "Khojaly, Pelajaran Untuk Masa Depan" di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, yang membahas pelanggaran HAM di Khojaly, Azerbaijan, oleh Armenia.

Contohnya adalah kesepakatan "non-interference" atau tidak boleh mencampuri urusan negara lain antarsesama anggota ASEAN.

"Misalnya dalam kasus muslim Rohingya di Myanmar. Posisi Indonesia menjadi sulit karena sebenarnya ingin agar permasalahan tersebut cepat diselesaikan namun tergancal aturan "non-intereference", yang bisa dianggap melakukan intervensi terhadap Myanmar," kata dia.

Tanggapan ini juga disampaikan Elfansuri dalam kaitannya dengan konflik dan pelanggaran HAM negara lain, dimana kedua pihak bertikai saling meminta dukungan Indonesia, seperti Azerbaijan-Armenia serta Korea Selatan-Korea Utara.

Azerbaijan dan Armenia terlibat konflik berkepanjangan hingga puncaknya pada Februari 1992, tentara Armenia yang memasuki wilayah Nagorno-Karabakh dan disinyalir melakukan genosida di daerah tersebut, tepatnya di kota Khojaly.

Menurut catatan pemerintah Azerbaijan, 613 orang tewas dalam kejadian tersebut, sementara 1.275 orang lainnya dipenjara dan 150 orang dinyatakan hilang dan pemerintah Armenia menolak bertanggung jawab atas hal ini.

Sementara Korea Utara (Korut)-Korea Selatan (Korsel) telah berkonflik sejak tahun 1959 dan saling menuding telah melakukan pelanggaran HAM. Kedua negara ini juga meminta dukungan Indonesia terkait pertikaian tersebut.

Bahkan pada (10/2), Korut melalui Dubes Ri Jong Ryul mengkritik Indonesia atas acara "Simposium HAM di Korut" yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta karena tidak diundang dalam kegiatan yang dihadiri pihak Korsel itu.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015