Denpasar (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyebutkan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) mencuat setelah pandemi COVID-19 merebak di seluruh dunia pada 2020.
Akibat pandemi, ekonomi sejumlah negara goyah dan kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sindikat pelaku kejahatan lintas negara yang lincah merekrut orang-orang kehilangan pekerjaan.
Anggota Komnas HAM Anis Hidayah menyebutkan sindikat itu merekrut calon pekerja dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, di antaranya media sosial.
Baca juga: JPU Bengkulu tuntut terdakwa TPPO hukuman 10 tahun penjara
Memanfaatkan tren media sosial yang sebetulnya tak terlalu canggih itu, para sindikat merekrut pekerja untuk dikirim ke luar negeri dan ternyata setelah tiba di negara tujuan, mereka dipekerjakan tak sesuai realita.
Komnas HAM menilai saat ini terjadi darurat TPPO karena pergerakan para sindikat terorganisasi secara nasional, regional, dan internasional.
Bahkan, belakangan terungkap kasus TPPO di Tanah Air ternyata melibatkan oknum aparat penegak hukum, setelah terungkap kasus perdagangan organ ginjal manusia di Kamboja.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI mencatat sejak 2020, pemerintah Indonesia mendapati banyak warga negara Indonesia (WNI) terjebak di perusahaan luar negeri yang sebagian besar di kawasan Asia Tenggara dan mengalami eksploitasi ketenagakerjaan.
Baca juga: Polda Jambi tangkap pelaku perdagangan orang asal Kerinci
Para pelaku merekrut korban untuk bekerja secara paksa di negara-negara ASEAN dan beberapa di Timur Tengah untuk melakukan penipuan daring.
Hingga Mei 2023, Kemenlu RI menangani 2.438 kasus WNI terjebak online scamming yang sekitar 50 persen atau 1.233 WNI di antaranya ditangani di Kamboja.
TPPO mencakup perbudakan, eksploitasi seksual, eksploitasi anak, tenaga kerja paksa, hingga pernikahan paksa sebagai bentuk pelanggaran HAM yang memberi dampak kepada perempuan, anak-anak, migran, pengungsi, hingga penyandang disabilitas.