Pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2023 ini, ada satu persoalan terkait tumbuh kembang anak yang harus menjadi perhatian, yakni peran ayah.

Kehilangan peran ayah dalam keluarga atau ketidakhadiran seorang ayah, baik secara fisik atau psikologis dalam kehidupan anak, itu menjadi masalah bagi pemenuhan hak anak. Ketidakhadiran itu bisa berwujud pada anak yang mempunyai ayah, tapi si ayah tidak peduli pada proses tumbuh kembang anak.

Fenomena ketidakhadiran ayah ini bisa berdampak atau mempengaruhi pembentukan ketahanan keluarga. Karenanya masalah ini perlu menjadi perhatian bersama untuk memastikan anak-anak Indonesia dapat tumbuh berkembang dengan baik dan memiliki karakter yang kuat.


Budaya patriarki

Pengasuhan anak membutuhkan keterlibatan orang tua, yaitu ayah dan ibu secara berimbang. Sehingga, pengasuhan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu, melainkan juga perlu keterlibatan seorang ayah.

Kalau ada kasus ayah tidak banyak terlibat dalam pengasuhan, salah satunya karena pengaruh budaya. Kentalnya budaya patriarki, menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak, sedangkan laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik adalah budaya yang sangat berpengaruh.

Baca juga: Hari Anak Nasional dan tantangan kendali stunting

Seharusnya, pengasuhan ayah tidak dimaknai hanya sebagai pencari nafkah, tapi juga dibutuhkan dalam setiap fase tumbuh kembang anak. Karena alasan kesibukan dalam bekerja, menjadikan ayah tidak punya banyak waktu untuk terlibat dalam pengasuhan.

Penyebab lain dari hilangnya peran ayah itu adalah perceraian. Kasus perceraian muncul biasanya karena perselisihan dalam rumah tangga yang terjadi terus menerus tanpa bisa dirukunkan kembali.

Perceraian ini dapat berdampak pada anak yang kehilangan sosok orang tuanya. Anak cenderung akan memilih ikut dengan ibu atau ayah, tidak mungkin ikut kedua-duanya. Kondisi ini akan menghambat perkembangan anak secara psikologis. Padahal, ayah dan ibu juga sama-sama memiliki peran yang penting untuk tumbuh kembang anak.

Dalam hal ini, anak perlu mengetahui dan mengalami perpaduan dua figur berbeda dalam kehidupannya, yaitu perempuan dan laki-laki.

Jika ibu mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang, maka ayah dapat mengajarkan tentang logika, keberanian, dan kemandirian. Sisi feminin dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang utuh.


Dampak pada anak

Merujuk pada buku Fatherless America: Confronting Our Most Urgent Social Problem karya Blankenhorn (1995), anak yang tumbuh di dalam keluarga tanpa adanya sosok ayah, bisa menyebabkan komplikasi sosial, seperti berpotensi menjadi pelaku kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, dan kehamilan remaja.


Hal tersebut umumnya terjadi karena anak kehilangan sosok ayah sebagai panutan dan pendamping hidup. Adanya kekosongan peran ayah dalam pengasuhan anak, terutama dalam periode emas, yakni usia 7-14 tahun dan 8-15 tahun, sangat berpengaruh dalam urusan prestasi sekolah.

Memasuki masa pertumbuhannya, anak-anak yang hidup tanpa ayah memiliki potensi terkena masalah mental dan emosional, merasa kurang percaya diri, kurang bisa berbaur dengan teman sebaya, terdampak masalah kesehatan, misalnya psikosomatis, kekerasan fisik, emosional, dan masalah seksual.

Baca juga: Kenali tiga gaya anak belajar untuk optimalkan potensinya

Selain itu juga berpengaruh dalam urusan menunjang prestasi di sekolah, antara lain anak sulit konsentrasi, motivasi belajar yang rendah, dan rentan terkena drop out.

Anak yang mengalami ketidakhadiran ayah akan merasakan dampaknya hingga dewasa atau remaja, seperti rendahnya penghargaan atas diri sendiri, merasa minder atau tidak percaya diri, merasa takut, cemas, dan tidak bahagia.

Selain itu anak akan merasa tidak aman secara fisik dan emosional, memiliki kemampuan akademik yang buruk, kelak akan memiliki hubungan yang rumit dengan pasangan, masalah perilaku dan gangguan kejiwaan, berpotensi melakukan kejahatan atau kenakalan remaja, cenderung ingin menikah usia dini, suka merokok dan minum alkohol, serta mencoba obat-obatan terlarang.


Mengasuh anak

Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Diana Setiyawati mengatakan ada banyak cara agar ayah bisa ikut berperan dalam mengasuh anak, seperti melakukan kegiatan bersama, sering berkomunikasi dengan anak, saling berbagi hal yang disukai, mengasuh anak, memberikan pengarahan, selalu ada untuk anak, dan lainnya.

Dalam hal ini, ayah harus ikut beraktivitas bersama anak karena kegiatan bersama ikut menstimulasi perkembangan kognitif, termasuk cara berkomunikasi antara ayah dan ibu, ikut berperan.

Cara berkomunikasi yang lebih kompleks dengan orang tua menuntut kemampuan bahasa yang lebih tinggi, sehingga bisa menstimulasi perkembangan kognitif anak.

Baca juga: Psikolog ajak orang tua kenalkan anak cara kelola keuangan

Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan mendorong perkembangan fungsi eksekutif lebih optimal. Fungsi eksekutif atau pengambilan keputusan berkaitan dengan kemampuan merencanakan, pengendalian diri, pemecahan masalah, dan perhatian.

Cara mengasuh anak, tentu melibatkan kehadiran ayah secara tatap muka. Pengasuhan juga mempengaruhi perkembangan emosi. Relasi positif antara ayah dan anak akan membantu anak mengembangkan emosi yang matang.

Tak hanya itu, ayah yang memberikan dukungan emosi atau terlibat pengasuhan bisa mengurangi beban pada ibu, sehingga turut mempengaruhi kualitas hubungan antara ibu dan anak.

Keterlibatan ayah juga berpengaruh pada kelekatan anak yang akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan sosial. Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan dan kehangatan dari sosok ayah akan mudah mengalami kecemasan, kompetensi sosial lemah, dan mengalami kepercayaan diri yang rendah.

Dalam perkembangan moral, ayah berperan penting dalam penanaman nilai individu karena sikap ayah cenderung lebih tegas dan maskulin dari pada ibu.


Peran pemerintah

Peran pemerintah dalam masalah ini juga dinilai sangat penting. Guna menjaga ketangguhan keluarga tidak menjadi rentan, dalam bentuk mencegah fenomena ketidakhadiran ayah terjadi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah membuat program Generasi Berencana sebagai wadah bagi para remaja untuk meningkatkan keterampilan hidup dalam membangun rumah tangga.


Program ditekankan supaya pasangan mampu membina hubungan keluarga suami-istri dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Dalam program ini juga disosialisasikan bahwa pendewasaan usia perkawinan menjadi salah satu ukuran untuk memastikan agar anak-anak Indonesia tidak menikah minimal di usia kurang dari 19 tahun.

Dengan demikian mereka diharapkan dapat mempersiapkan diri secara mental, fisik, dan material dengan lebih matang dan baik, sebelum memutuskan untuk menikah.

Bagi pasangan usia subur yang telah memiliki anak pun, tiap pasangan dapat mengikuti kelas pengasuhan baik yang dilakukan secara daring ataupun luring oleh BKKBN. Di dalamnya disampaikan tentang penerapan 8 fungsi keluarga dan pembagian peran dalam pengasuhan anak.

Baca juga: Pentingnya perhatian terhadap kesehatan fisik dan mental anak

Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah di tingkat daerah juga harus membuat program yang sama untuk menangani hal ini.

Salah satunya yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya adalah dengan menyediakan tempat pelayanan konsultasi keluarga atau dikenal Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga).

Salah satu program di Puspaga adalah Sekolah Orang Tua Hebat, dimana orang tua dilatih oleh tenaga psikologi terkait pengetahuan pola asuh dan parenting, serta pelatihan Bina Keluarga Balita, Bina Keluarga Remaja, Bina Keluarga Lansia, dan webinar/talkshow seputar kesetaraan gender.

Tidak hanya itu, Pemkot Surabaya juga mewajibkan calon pengantin (catin) mengikuti kelas catin atau pembekalan sebelum menikah. Kelas catin ini untuk memantapkan hati setiap pasangan yang hendak naik ke pelaminan.

Mengatasi masalah kurangnya peran ayah dalam kehidupan anak adalah tanggung jawab bersama bagi masyarakat, pemerintah, keluarga, dan individu.

Dengan meningkatkan kesadaran, dukungan kebijakan, pembangunan komunitas, dan perubahan sikap masyarakat, kita dapat membangun generasi yang kuat dengan kehadiran ayah yang lebih aktif dan mendukung tumbung kembang jiwa dan fisik anak-anak. Ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi perkembangan anak-anak dan masa depan bangsa.
 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023