Kemajuan teknologi telah banyak mempermudah sekaligus mengubah gaya hidup manusia. Namun adiksi teknologi tidak hanya akan mengubah perangai seseorang, pun dapat mengakibatkan kematian budi pekerti. Maka, jadilah pengendali teknologi yang cakap mengambil manfaat baiknya seraya mencampakkan efek jeleknya.
Teknologi informasi dan komunikasi telah menjadikan dunia seakan tanpa batas. Informasi dari berbagai belahan negara dapat diakses warga dunia dalam hitungan detik melalui Internet. Dari layar televisi dan laman media daring segala informasi dapat dinikmati masyarakat luas. Akses media sosial via gawai membuat warganet seantero dunia bisa saling terhubung. Begitu pun mimbar medsos berbagi konten video yang mampu menyulap siapa saja menjadi selebritas dalam waktu sesaat.
Nikmat medsos dapat menenggelamkan manusia dalam buaian maya, jagat baru yang tercipta secara daring. Dunia seolah memasuki peradaban baru sejak umat manusia menjadi penggandrung media sosial. Pola laku dan gaya hidup mereka turut berubah karenanya, yang sering kali menyimpang dari norma dan nilai adab ketimuran.
Budaya, tata krama, dan budi pekerti menjadi aspek yang terdampak serius akibat pergaulan bebas di dunia virtual itu. Realita yang menimbulkan keprihatinan mendalam orang nomor satu di Indonesia. Presiden Joko Widodo mengingatkan, agar perkembangan teknologi jangan sampai mencerabut akar budaya bangsa.
"Hati-hati agar jangan sampai kita malah kehilangan akar budaya kita dan justru anak-anak kita belajar lewat media sosial tentang hal-hal yang bukan budaya negara kita Indonesia," wanti-wanti Presiden.
Jokowi berpesan, kebudayaan harus dijadikan napas kelangsungan hidup bangsa dan menjadi darah kepribadian di dalam sistem pendidikan.
"Hati-hati anak-anak kita sekarang tidak hanya belajar di sekolah, di rumah, dari orang tua, dan dari teman-temannya, tapi lebih banyak dari media sosial,” pesan Presiden, mengkhawatirkan.
Dia pun menekankan bahwa pembangunan karakter, budi pekerti, dan etika menjadi fokus di pendidikan dasar dan menengah pada pemerintahan yang dipimpinnya.
"Bukan Matematikanya didahulukan, enggak. Di situ yang didahulukan, budi pekerti, etika, baru Matematikanya, sainsnya, itu mengikuti," kata Jokowi.
Presiden ingin para penerus bangsa memiliki sikap yang baik, budi pekerti yang luhur. Berkenaan dengan hal itu, ia menyinggung keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai instansi yang bertanggung jawab memperkokoh nilai-nilai dasar negara di dalam jiwa para pemuda.
Kekhawatiran serupa juga diungkap Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Kuwait Lena Maryana Mukti.
Edukasi moral dan budi pekerti pada anak-anak dinilai masih tertinggal dari urusan teknologi digital yang begitu melesat.
Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) itu mengemukakan bahwa di era teknologi yang perkembangannya sangat cepat, pendidikan budi pekerti perlu ditingkatkan. Hal ini penting dilakukan untuk mengimbangi kemajuan teknologi digital saat ini.
Anak-anak disebutnya aset bangsa yang harus diselamatkan, di mana pendidikan moral dan budi pekerti anak-anak sekarang ini sangat tertinggal jauh.
Kematian budi pekerti
Budi pekerti semestinya dijunjung tinggi sebagai jati diri masyarakat beragama yang juga memiliki Pancasila. Namun menyaksikan serentetan kasus yang menyeruak akhir-akhir ini seolah menjadi indikasi akan matinya budi pekerti.
Contoh berikut hanyalah beberapa dari banyaknya peristiwa yang dipicu masalah gawai, gim, dan tontonan hingga membuat manusia kehilangan akal budi.
1. Rabu, 7 Maret 2018. Seorang siswa Madrasah Darussalam, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak, Kalimantan Barat, NF menganiaya gurunya, Nuzul Kurniawati, karena tak terima ditegur saat menggunakan telepon genggam ketika pelajaran berlangsung. NF memukul Nuzul dengan kursi plastik hingga korban dibawa ke rumah sakit terdekat, kemudian dirujuk ke RSUD Soedarso untuk menjalani pemindaian atau scanning di bagian kepala.
2. Rabu, 8 Juli 2020, seorang guru di Banyuasin, Sumatera Selatan, E (49) diperkosa mantan murid SD-nya berinisial AR (18), warga Desa Marga Rahayu, Kecamatan Sumber Marga Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Pelaku yang baru selesai menonton film porno menyambangi rumah korban dan memerkosa mantan gurunya itu. Karena E memberontak, pelaku kemudian menganiaya dan membunuh korban. Menurut pengakuan di hadapan polisi, pelaku dendam kepada korban yang sempat memergokinya mencuri.
3. Jumat, 8 April 2022. Seorang ibu di Ulak Bandung, Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur, Bengkulu dianiaya anak kandungnya sendiri BH (19) gara-gara masalah kuota Internet. Korban memberikan uang Rp60 ribu, namun tersangka menganggap uang sejumlah itu tidak cukup untuk membeli paket Internet. BH lantas memukul ibunya hingga dia harus berurusan dengan Sat Reskrim Polres Kaur.
4. Minggu, 18 September 2022. Riski Anderiansah (20), warga Jalan Lematang Desa Lubuk Ampelas, Kecamatan Muara Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tega menghajar dan meludahi ibu kandungnya, Marlina, hanya gara-gara ponsel.
Pelaku diam-diam mengambil HP korban dari kamarnya, setelah beberapa jam digunakan, korban menanyakan HP-nya, namun tersangka enggan mengembalikan. Beberapa kali ditanyakan kembali, membuat tersangka marah dan memukul ibunya dengan besi batang kipas angin hingga mengakibatkan korban mengalami luka-luka lebam.
5. Senin, 6 Februari 2023. Seorang ayah AB (25) warga Wanea Kota Manado, Sulawesi Utara, tega menganiaya anak bayinya hingga meninggal dunia. Pelaku memukul kepala dan bibir JV, bayi berusia 6 bulan itu, hanya karena merasa terganggu tangis anaknya saat dirinya bermain gim jenis Mobile Legend.
Sekarang vs dulu
Pelaku kejahatan yang masih berusia relatif muda, biasanya buah dari toleransi ketiadaan adab pada masa anak-anak. Akibat salah asuh, pembiaran, atau pengekangan berlebihan dapat menghasilkan anak dengan kelakuan bermasalah.
Sejumlah fakta berikut menggambarkan hal-hal yang salah namun telah lumrah terjadi di masyarakat sekarang dan perbedaannya dengan zaman dahulu.
- Tidak takut dosa. Anak yang tidak mempan dinasihati dengan “ancaman” dosa. Dinasihati orang tua dengan 1-2 kalimat, dia bisa membantah dengan produksi kata-kata yang lebih berlimpah. Dosa bukan suatu yang dia takuti, rida orang tua bukan hal yang dia cari. Egonya tinggi, segala keinginannya harus dituruti.
Anak zaman dahulu, jangankan diancam dosa, dibilang pamali saja sudah langsung mundur teratur dan nurut apa kata orang tua. Apa yang dinasihatkan orang tua ‘diiyakan’ saja meski dalam hati tidak menyetujuinya. Karena menyenangkan hati orang tua demi memperoleh ridanya adalah hal terpenting buat anak. Bila ingin meminta sesuatu, anak terlebih dulu melihat kondisi orang tua. Jika sekiranya tidak memungkinkan lebih baik urung disampaikan.
- Guru takut murid. Di berbagai sekolah bergengsi berbiaya mahal, guru biasanya “takut” dengan murid karena bila ditegur atau diperingatkan akan kesalahannya, urusannya bisa panjang. Si anak pejabat, orang kaya, atau terpandang itu akan mengadukan ke orang tua, kemudian orang tua bisa saja melabrak guru dan pihak sekolah, atau ancaman memviralkan peristiwa di media sosial.
Pada masa lalu, sosok guru sangat dihormati dan disegani. Orang tua betul-betul mempercayakan pendidikan anaknya terhadap guru sehingga anaknya dididik dengan cara bagaimana pun pasrah saja. Ketika anak mengadukan perlakuan guru ke orang tua, malah anak yang dimarahi dan disuruh patuh kepada guru.
- Gurunya itu gawai. Anak-anak hingga bayi sudah kecanduan gawai karena orang tua tidak mau repot mengasuh anak. Ketika anak rewel, jalan pintasnya adalah dipegangi gawai untuk menonton Youtube, TikTok, atau platform berbagi video sejenisnya. Gawai menjadi guru setia anak-anak setiap hari.
Anak-anak zaman dulu, guru dan lainnya adalah alam. Mereka bermain di luar bersama teman-teman dengan permainan tradisional yang membuat mereka aktif bergerak dan berinteraksi sosial.
- Kebutuhan pokok kuota. Kebutuhan pokok bukan lagi sembako, kini telah bertambah satu jenis lagi dan itu menjadi yang utama, yaitu kuota. Dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-anak, mereka menganggap kuota sebagai kebutuhan utama. Anak bisa mengamuk ke orang tua bila tidak dibelikan kuota sehingga permainan gimnya terhenti karena kehabisan kuota.
Kebutuhan pokok pada zaman kakek nenek dulu, benar-benar kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup, tidak aneh-aneh, menjalani hidup secara bersahaja dan menikmati kedamaian. Bahan makanan diambil dari apa yang disediakan alam tanpa cemaran kimiawi sehingga mereka memiliki keluhuran budi.
Generasi Emas
Memperbaiki pola didik adalah hal mendesak sebelum budi pekerti benar-benar akan mati oleh sebab perilaku adiksi terhadap teknologi.
Psikolog Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Yuliezar Perwira Dara, mengakui bahwa anak-anak adalah penyerap informasi dari apa yang mereka tonton.
Ada perilaku ikutan pada masyarakat, khususnya pada usia anak yang masih dalam tahap imitasi. Mengikuti apa yang didengar dan dilihat
Pemerhati masalah anak-anak itu lalu menjelaskan, pada usia yang lebih matang, sebuah tontonan tidak serta merta diserap tapi disertai proses memahami, yang baik kemudian diikuti dan yang buruk ditinggalkan.
“Nah, ini tidak instan, perlu peran pendampingan dari orang dewasa yang paham anak sehingga orang tua juga wajib belajar tahap-tahap capaian perkembangan anak,” papar dia.
Sejatinya, inti dari pengasuhan dan pendidikan berada dalam keluarga, pemain utamanya adalah orang tua. Maka penting untuk mendampingi anak dalam proses tumbuh kembangnya termasuk mengontrol apa yang mereka tonton dan mainkan.
Pada bagian lain, pembinaan moral dan akhlak dengan jalan pendalaman aspek keagamaan terasa semakin menggeliat di berbagai sekolah atau lembaga pendidikan akhir-akhir ini, seperti penyelenggaraan ibadah berjamaah, ceramah agama, gerakan peduli dan berbagi, serta lain sebagainya.
Ikhtiar baik dari rumah maupun sekolah tersebut diikhtiarkan mampu memulihkan akhlak anak-anak sehingga visi membangun Generasi Emas akan terealisasi, kelak. Semoga.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023