Jakarta, (Antara) - Pengamat ekonomi Destry Damayanti memproyeksikan nilai tukar rupiah pada akhir 2015 akan berada di kisaran Rp13.000-Rp13.400 per dolar AS, jauh di atas asumsi rupiah dalam APBNP 2015 Rp12.500 per dolar AS.
"Sampai akhir tahun kami perkirakan rupiah Rp13.000-Rp13.400 per dolar AS," ujar Destry di Jakarta, Senin.
Menurut Destry, fluktuasi nilai tukar rupiah saat ini yang berada disekitar level Rp13.000 per dolar AS lebih disebabkan oleh sentimen dari pasar.
"Sekarang market ini menunggu apakah pemerintah bisa atau tidak groundbreaking (memulai) proyek-proyek infrastrukturnya," kata Destry.
Destry meyakini, apabila proyek-proyek tersebut menunjukkan kemajuan yang baik maka akan dapat segera membalikkan sentimen pasar yang saat ini cenderung masih ragu-ragu dan merasa belum ada kepastian.
Namun Destry menilai struktur ekonomi Indonesia memang ada "masalah", khususnya sektor industri tidak berkembang optimal.
"Saat ekonomi tumbuh, konsumsi naik, impor naik juga. Impor bahan baku, misalnya baja. Ini pasti akan berpengaruh, tapi kalau itu digunakan untuk sektor produktif, maka juga akan meng-attract investor untuk masuk. Impor kita 76 persen adalah bahan baku, 16 persen investasi, dan 7 persen konsumsi," kata Destry.
Ia juga memproyeksikan, defisit neraca transaksi berjalan pada akhir tahun akan mencapai 2,8 persen dari PDB.
Dari sisi global, Destry menuturkan saat ini indikator ekonomi AS cenderung masih "up and down". Memang pengangguran sudah di bawah enam persen, namun inflasinya masih jauh dari dua persen atau dengan kata lain ekonomi AS masih belum akan pulih dengan cepat.
"Penguatan dolar AS saat ini juga sudah tidak seperti pada awal tahun di mana menguat terhadap hampir semua mata uang di dunia," ujar Destry. ***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015
"Sampai akhir tahun kami perkirakan rupiah Rp13.000-Rp13.400 per dolar AS," ujar Destry di Jakarta, Senin.
Menurut Destry, fluktuasi nilai tukar rupiah saat ini yang berada disekitar level Rp13.000 per dolar AS lebih disebabkan oleh sentimen dari pasar.
"Sekarang market ini menunggu apakah pemerintah bisa atau tidak groundbreaking (memulai) proyek-proyek infrastrukturnya," kata Destry.
Destry meyakini, apabila proyek-proyek tersebut menunjukkan kemajuan yang baik maka akan dapat segera membalikkan sentimen pasar yang saat ini cenderung masih ragu-ragu dan merasa belum ada kepastian.
Namun Destry menilai struktur ekonomi Indonesia memang ada "masalah", khususnya sektor industri tidak berkembang optimal.
"Saat ekonomi tumbuh, konsumsi naik, impor naik juga. Impor bahan baku, misalnya baja. Ini pasti akan berpengaruh, tapi kalau itu digunakan untuk sektor produktif, maka juga akan meng-attract investor untuk masuk. Impor kita 76 persen adalah bahan baku, 16 persen investasi, dan 7 persen konsumsi," kata Destry.
Ia juga memproyeksikan, defisit neraca transaksi berjalan pada akhir tahun akan mencapai 2,8 persen dari PDB.
Dari sisi global, Destry menuturkan saat ini indikator ekonomi AS cenderung masih "up and down". Memang pengangguran sudah di bawah enam persen, namun inflasinya masih jauh dari dua persen atau dengan kata lain ekonomi AS masih belum akan pulih dengan cepat.
"Penguatan dolar AS saat ini juga sudah tidak seperti pada awal tahun di mana menguat terhadap hampir semua mata uang di dunia," ujar Destry. ***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015