Bengkulu (Antara) - Tiga orang perwakilan warga Desa Kaana Kecamatan Pulau Enggano, Bengkulu, mendatangi Kantor Walhi Bengkulu, melaporkan sekaligus meminta dukungan untuk menolak penambangan pasir di pesisir desa mereka, karena dikhawatirkan menimbulkan abrasi dan kerusakan lingkungan lainnya.
Sekretaris Yayasan Karya Enggano, Frontir Kauno saat mendatangi Kantor Walhi Bengkulu di Kota Bengkulu, Senin, mengatakan warga desa sudah resah karena pengambilan pasir menggunakan alat berat telah merusak ekosistem pesisir desa mereka.
"Hampir setengah hektare hutan mangrove sudah dijadikan penambangan pasir, padahal mangrove pesisir sangat penting untuk pertahanan pulau" ungkap Frontir.
Ia menambahkan bahwa warga tidak mengetahui keberadaan perusahaan itu dan diduga tanpa izin mengambil pasir di pesisir Desa Kaana.
Pengambilan pasir tersebut menurut Frontir untuk material pembangunan perumahan dan fasilitas pendukung permukiman transmigrasi di Pulau Enggano.
"Padahal, sudah ada perjanjian antara para pihak yang disepakati pada tahun 2013 bahwa pembangunan dengan anggaran di atas Rp500 juta harus mendatangkan material dari luar pulau," ujarnya.
Sementara nilai proyek pembangunan perumahan transmigran tersebut, menurut dia mencapai miliaran rupiah.
Warga desa lainnya, Karyadi Kauno mengatakan perlindungan pesisir Pulau Enggano yang dihuni lebih 2.800 jiwa sangat penting sebab laju abrasi yang mengancam pulau terluar itu sangat tinggi.
"Mangrove yang dirusak itu adalah benteng pelindung pesisir, kalau sudah dihancurkan akan membahayakan daratan pulau," imbuhnya.
Karyadi mengatakan setelah dari Kantor Walhi, mereka berencana melaporkan pengambilan pasir tersebut ke Polda Bengkulu terkait pengambilan pasir secara liar atau tanpa izin.
Ia mengharapkan pihak terkait segera menindaklanjuti keresahan warga, sebelum terjadi konflik sosial di lapangan.
Pulau Enggano yang memiliki luas 39 ribu hektare merupakan pulau terluar yang berada di tengah Samudera Hindia yang terdiri dari enam desa yakni Kahyapu, Kaana, Malakoni, Meok, Apoho dan Banjarsari.***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015
Sekretaris Yayasan Karya Enggano, Frontir Kauno saat mendatangi Kantor Walhi Bengkulu di Kota Bengkulu, Senin, mengatakan warga desa sudah resah karena pengambilan pasir menggunakan alat berat telah merusak ekosistem pesisir desa mereka.
"Hampir setengah hektare hutan mangrove sudah dijadikan penambangan pasir, padahal mangrove pesisir sangat penting untuk pertahanan pulau" ungkap Frontir.
Ia menambahkan bahwa warga tidak mengetahui keberadaan perusahaan itu dan diduga tanpa izin mengambil pasir di pesisir Desa Kaana.
Pengambilan pasir tersebut menurut Frontir untuk material pembangunan perumahan dan fasilitas pendukung permukiman transmigrasi di Pulau Enggano.
"Padahal, sudah ada perjanjian antara para pihak yang disepakati pada tahun 2013 bahwa pembangunan dengan anggaran di atas Rp500 juta harus mendatangkan material dari luar pulau," ujarnya.
Sementara nilai proyek pembangunan perumahan transmigran tersebut, menurut dia mencapai miliaran rupiah.
Warga desa lainnya, Karyadi Kauno mengatakan perlindungan pesisir Pulau Enggano yang dihuni lebih 2.800 jiwa sangat penting sebab laju abrasi yang mengancam pulau terluar itu sangat tinggi.
"Mangrove yang dirusak itu adalah benteng pelindung pesisir, kalau sudah dihancurkan akan membahayakan daratan pulau," imbuhnya.
Karyadi mengatakan setelah dari Kantor Walhi, mereka berencana melaporkan pengambilan pasir tersebut ke Polda Bengkulu terkait pengambilan pasir secara liar atau tanpa izin.
Ia mengharapkan pihak terkait segera menindaklanjuti keresahan warga, sebelum terjadi konflik sosial di lapangan.
Pulau Enggano yang memiliki luas 39 ribu hektare merupakan pulau terluar yang berada di tengah Samudera Hindia yang terdiri dari enam desa yakni Kahyapu, Kaana, Malakoni, Meok, Apoho dan Banjarsari.***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015