"Siap-siap Enggano (karena telah rampung pembangunan infrastrukturnya), tolong bantu saya mengeluarkan peraturan daerah atau paling tidak minimum pada SK kepala daerah untuk membuat aturan perlindungan masyarakat hukum adat di Enggano yang isinya salah satunya tidak diperbolehkan perusahaan perkebunan besar masuk ke Enggano," kata Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, di Bengkulu, Jumat.
Menurut Rohidin, investasi perkebunan besar berpotensi menggusur masyarakat Enggano dari tanah kampung halaman mereka sendiri.
Kemudian investasi perkebunan besar juga berpotensi mengakibatkan konflik sosial dan agraria, seperti yang terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Bengkulu.
Bengkulu sendiri, kata dia, sudah punya sejarah adanya konflik agraria karena Investasi perkebunan besar di beberapa wilayah di Provinsi Bengkulu.
Perkebunan tersebut, menurutnya, mendapat hak guna pada lahan dengan luas ribuan hektare pada tahun 1990-an. Kemudian, lahan tersebut ditinggal oleh perusahaan pemilik legalitas hak guna lahan.
"Waktu itu masyarakat di dusun itu senang ada perusahaan besar datang ke wilayah mereka (berpikir akan membuat daerah berkembang, tetapi tidak tahu luas lahan yang dikuasai)," kata dia.
Kemudian pada tahun 2000-an lahan yang ditinggal oleh perusahaan, diolah warga yang berpikir tidak lagi diurusi oleh perusahaan sebab lama terbengkalai dan sudah menjadi hutan kembali.
"Warga setempat menanam sawit di sana, tapi ternyata belakangan perusahaan itu mengalihtangankan izin guna ke perusahaan baru, dan izin perkebunannya juga berganti menjadi tanaman sawit," kata dia lagi.
Hal itu pulalah yang akhirnya menjadikan konflik agraria, sengketa lahan muncul di Bengkulu. Bahkan masyarakat yang menanam pohon sawit sendiri, dianggap mencuri sawit perusahaan karena tanah tersebut merupakan tanah hak guna yang dikelola perusahaan yang baru.
Oleh karena itu, menurut Gubernur Rohidin, mengingat Pulau Enggano saat ini sudah memiliki infrastruktur yang bagus mulai dari jalan cor beton menghubungkan seluruh desa dengan bandara dan dua pelabuhan, koneksi internet tercepat 4G, potensi ekonomi, dan sarana transportasi yang memadai, sudah seharusnya pulau terluar itu butuh perlindungan.
Dia mengatakan perlu peraturan daerah atau undang-undang yang mengatur perlindungan masyarakat hukum adat di wilayah Enggano.
"(Dalam regulasi itu hendaknya) kalau ada transaksi penjualan lahan kepada pelaku usaha, maka tidak totally dijual oleh pemilik lahan, tapi tetap ada persentase kepemilikan itu kepada pemilik lahan. Mengapa, karena nanti kalau untuk dijual untuk hotel, pasar, lapangan golf, maka 10 tahun kemudian (warga Enggano) hanya akan jadi penontonnya," ujarnya lagi.
Regulasi untuk Pulau Enggano tersebut, kata dia, bisa mengatur setiap lahan yang dijual tidak bisa total dijual 100 persen, tapi hanya 90 persen saja, dan 10 persen masih milik dari masyarakat Enggano.
"Artinya, masyarakat pemilik lahan masih punya saham 10 persen dari setiap investasi yang masuk ke Enggano," ujarnya pula.