Bengkulu (Antara) - Pengurus Organisasi nonpemerintah Yayasan Cahaya Perempuan "Women Crisis Centre" (WCC) Bengkulu menggandeng tokoh agama dan tokoh adat untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga sekaligus mendukung pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC, Tety Sumeri saat seminar dengan tajuk "Membangun Dukungan untuk Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan" mengatakan, peran para tokoh adat dan agama sangat strategis untuk menanggulangi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Tokoh adat dan agama ini adalah penjaga moral sosial sehingga peran mereka sangat penting untuk menanggulangi kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak," katanya di Bengkulu, Senin.

Ia mengatakan, para tokoh masyarakat itu diharapkan dapat menularkan pandangan konstruktif dalam menghadapi persoalan sosial di lingkungan mereka.

Persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, menurut Tety, tidak lepas dari persoalan kemiskinan yang sering kali menjadi akar masalah.

Karena itu, penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus sejalan dengan program pengentasan kemiskinan.

"Tidak bisa dilakukan terpisah atau parsial karena data menunjukkan Bengkulu adalah provinsi termiskin di Sumatera dan posisi keenam di Indonesia," katanya.

Dari seminar yang berlangsung dua hari tersebut, diharapkan terbentuk satu panduan untuk pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi untuk menurunkan angka kekerasan seksual bagi perempuan dan anak serta mengkampanyekannya kepada masyarakat.

Pendiri Yayasan Famina Cirebon, Faqihuddin Abdul Kodir yang menjadi pembicara dalam seminar itu mengatakan tokoh agama dan tokoh adat memiliki dua peran penting untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak yakni peran sosial dan peran pengetahuan.

"Bila ada masalah, masyarakat sering kali mendatangi tokoh adat atau tokoh agama untuk meminta masukan bahkan solusi. Di sini, peran tokoh ini sangat penting untuk memberikan solusi dan informasi yang benar," katanya.

Selama ini menurut dia, ada pandangan yang keliru di masyarakat bahwa setiap kasus kekerasan yang menimpa perempuan selalu dipahami sebagai kesalahan kaum perempuan itu sendiri.

Misalnya kasus pemerkosaan yang dialami perempuan seringkali mendapat tuduhan bahwa perempuan tersebut merupakan penyebab kasus kekerasan itu terjadi, misalnya dikaitkan dengan perilaku dan cara berpakaian mereka.

"Pemahaman ini yang harus dikikis dari masyarakat kita, bahwa perempuan itu adalah korban dan semua solusi yang diambil harus melindungi dan mengakomodir hak kesehatan dan reproduksi perempuan," katanya.***4***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016