Bengkulu (Antara) - Sejumlah tokoh masyarakat Bengkulu mengusulkan kepada pemerintah untuk memasukan pendidikan tentang kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah dalam rangka penanggulangan kasus kekerasan seksual, sekaligus memberikan pengetahuan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Usulan itu mengemuka dalam seminar bertajuk "Membangun Dukungan untuk Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan" yang digelar Cahaya Perempuan Women Crisis Center (WCC) Bengkulu di Bengkulu, Rabu.
Direktur Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Tety Sumeri mengatakan, usulan pendidikan kesehatan reproduksi ke sekolah-sekolah disampaikan para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat yang menjadi peserta seminar itu.
"Kesehatan reproduksi bagi pelajar sangat mendesak karena itu, menjadi salah satu poin deklarasi setelah seminar berlangsung dua hari ini," kata Tety.
Ia mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Bengkulu cukup mengkhawatirkan sehingga pendidikan tentang kesehatan reproduksi perlu disampaikan secara utuh.
Dari 425 kasus kekerasan pada 2014, sebanyak 147 kasus merupakan kekerasan seksual pada anak. Dari jumlah kasus tersebut, kekerasan dalam relasi keluarga atau `insest` mencapai 18 kasus.
Selain mengusulkan pendidikan kesehatan reproduksi, deklarasi bersama para tokoh adat dan agama itu juga meminta pemerintah daerah mengatasi kasus kehamilan tak diinginkan yang kejadiannya cukup tinggi di Bengkulu.
Kasus kehamilan tak diinginkan pada umumnya akibat dari kasus pemerkosaan yang sebagian akar masalahnya adalah kemiskinan.
"Karena itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan pemberdayaan ekonomi kaum perempuan sehingga terbebas dari kemiskinan dan pemiskinan," kata Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bengkulu, Arnof Wardin.
Poin lain dalam deklarasi tersebut adalah mendesak pemerintah daerah mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. ***4***