Bengkulu (Antara) - Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Beni Ardiansyah berpendapat bahwa keterbukaan informasi dapat mencegah konflik sumber daya alam yang kerap kali merugikan masyarakat sipil.
"Keterbukaan informasi masih menjadi barang mahal, bahkan untuk mendapat dokumen hak guna usaha perkebunan harus sampai ke meja hijau," kata Beny saat diskusi pagi yang dipimpin Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida di Bengkulu, Senin.
Menurut dia, ketertutupan informasi tentang dokumen hak guna usaha (HGU) perkebunan skala besar di Bengkulu mengindikasikan berbagai hal, salah satunya penerbitan perizinan yang ditengarai tidak sesuai prosedur.
Walhi Bengkulu kata dia punya pengalaman pahit dalam mengakses dokumen HGU di daerah ini yang harus berakhir di meja sidang sengketa informasi di Komisi Informasi dan saat ini berlanjut ke tahap kasasi.
Padahal dokumen HGU itu adalah informasi yang seharusnya dapat diakses publik, tapi kenyataannya tertutup dan perlu ke meja hijau untuk dapat mengaksesnya, katanya.
Karena itu, prosedur penerbitan perizinan terutama perkebunan skala besar menurut Beny perlu menjadi perhatian Ombudsman yang dibentuk untuk memastikan pelayanan publik terwujud dengan baik.
Keterbukaan informasi dan penerbitan perizinan yang transparan serta akuntabel menurut Beny dapat mengurai konflik sumber daya alam yang terjadi di daerah ini.
Kajian Walhi Bengkulu menunjukkan ada 21 titik konflik sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan skala besar yang berpotensi terjadi di Bengkulu.
Program satu peta yang didorong lembaga nonpemerintah menjadi salah satu instrumen penyelesaian konflik sumber daya alam di Indonesia, termasuk di Bengkulu, kata dia.
Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida mengatakan pelayanan publik Indonesia harus berbenah karena masih berada di peringkat 129 dari 180 negara yang disurvei.
"Kami mendorong pemerintah daerah untuk membuat standar pelayanan minimum karena peradaban suatu negara ditentukan oleh kualitas pelayanan publiknya," katanya.***2***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016
"Keterbukaan informasi masih menjadi barang mahal, bahkan untuk mendapat dokumen hak guna usaha perkebunan harus sampai ke meja hijau," kata Beny saat diskusi pagi yang dipimpin Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida di Bengkulu, Senin.
Menurut dia, ketertutupan informasi tentang dokumen hak guna usaha (HGU) perkebunan skala besar di Bengkulu mengindikasikan berbagai hal, salah satunya penerbitan perizinan yang ditengarai tidak sesuai prosedur.
Walhi Bengkulu kata dia punya pengalaman pahit dalam mengakses dokumen HGU di daerah ini yang harus berakhir di meja sidang sengketa informasi di Komisi Informasi dan saat ini berlanjut ke tahap kasasi.
Padahal dokumen HGU itu adalah informasi yang seharusnya dapat diakses publik, tapi kenyataannya tertutup dan perlu ke meja hijau untuk dapat mengaksesnya, katanya.
Karena itu, prosedur penerbitan perizinan terutama perkebunan skala besar menurut Beny perlu menjadi perhatian Ombudsman yang dibentuk untuk memastikan pelayanan publik terwujud dengan baik.
Keterbukaan informasi dan penerbitan perizinan yang transparan serta akuntabel menurut Beny dapat mengurai konflik sumber daya alam yang terjadi di daerah ini.
Kajian Walhi Bengkulu menunjukkan ada 21 titik konflik sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan skala besar yang berpotensi terjadi di Bengkulu.
Program satu peta yang didorong lembaga nonpemerintah menjadi salah satu instrumen penyelesaian konflik sumber daya alam di Indonesia, termasuk di Bengkulu, kata dia.
Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida mengatakan pelayanan publik Indonesia harus berbenah karena masih berada di peringkat 129 dari 180 negara yang disurvei.
"Kami mendorong pemerintah daerah untuk membuat standar pelayanan minimum karena peradaban suatu negara ditentukan oleh kualitas pelayanan publiknya," katanya.***2***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016