Bengkulu (Antara) - Unjuk rasa warga dari 11 desa yang berakhir ricuh pada Sabtu (11/6), membuat operasi PT Citra Buana Seraya (CBS), perusahaan tambang batu bara yang berlokasi di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu dihentikan sementara.

"Untuk sementara operasi tambang kami hentikan sampai situasi kondusif," kata Kepala Teknik Tambang (KTT) PT CBS, Danu Andrianto di Bengkulu, Senin.

Bentrok warga dengan kepolisian membuat sembilan orang warga sipil tertembak dan seorang anggota polisi terluka akibat terkena senjata tajam.

Sebanyak 35 orang pekerja di tambang dengan pengerukan tertutup atau sistem "underground" terpaksa dirumahkan untuk sementara hingga kondisi kembali normal.

"Saat ini masih tahap konstruksi terowongan yang baru mencapai 18 meter dari target sepanjang 800 meter," ungkap Danu.

Konsesi PT CBS yang berada di wilayah Kecamatan Merigi Sakti dan Kecamatan Merigi Kelindang mencapai seluas 2.550 hektare.

Rencana operasi ditargetkan mulai pertengahan 2017 dengan target produksi sebanyak 10 ribu hinga 15 ribu ton per bulan dengan izin produksi hingga 2019.

Pertambangan dengan sistem tertutup yang mendapat penolakan dari warga setempat, menurut Danu menjadi pilihan paling ekonomis dengan pertimbangan harga jual batu bara yang saat ini anjlok.

Danu pun menampik kekhawatiran warga terkait longsor dan amblesnya tanah dengan pertimbangan hasil studi geoteknik menyebutkan struktur tanah di wilayah itu memiliki lapisan penutup berupa batu andesit.

Namun, pernyataan ini dibantah oleh warga yang menyebutkan di lokasi pembangunan terowongan sudah terdapat bekas longsoran dan retakan pada tanah.

Ketua Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk, Nurdin mengatakan penolakan terhadap tambang tertutup itu sudah disampaikan warga saat pertemuan dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu pada 2015.

Penyusunan dokumen Analis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang tidak transparan dan informasi tentang dampak pengeboran di bawah tanah yang tidak sampai ke tataran warga membuat penolakan tambang "underground" itu semakin meluas.

"Informasi yang kami dapat hanya produksi 300 ribu ton batu bara per tahun dan penambangan selama 30 tahun, bisa dibayangkan berapa luas lubang di bawah desa dan kebun kami," tutur Nurdin.

Selain itu, wilayah Bengkulu yang rawan gempa bumi, kata Nurdin, juga membuat kekhawatiran warga semakin menjadi-jadi sebab pengeboran dikhawatirkan menganggu kestabilan struktur tanah.

Kecemasan itulah yang mendasari warga menyatakan penolakan terhadap tambang tertutup. Berulangkali warga mendatangi kantor pemerintah daerah setempat untuk menyampaikan tuntutan mereka.

Unjuk rasa terakhir yang diikuti sekira 500 warga berlangsung pada April 2016 di Kantor Pemda Bengkulu Tengah. Warga menilai tidak ada niat baik dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan tersebut sehingga pada Sabtu (11/6) warga nekat mendatangi kamp perusahaan untuk menghentikan aktivitas perusahaan itu dan berujung bentrok dengan anggota polisi.***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016