Bengkulu (Antara) - Indra Jaya berupaya duduk di kursi kayu itu sambil menahan sakit. Sehari sebelumnya, sebuah peluru karet yang ditembakkan dalam jarak lima centimeter dikeluarkan dari paha kirinya.

Insiden penembakan terjadi saat Indra dan ratusan warga dari 12 desa di Kecamatan Merigi Kelindang dan Kecamatan Merigi Sakti Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu mendatangi kamp perusahaan tambang batu bara milik PT Citra Buana Seraya pada Sabtu (11/6).

Warga berniat menutup dan menghentikan aktivitas perusahaan tambang yang mendirikan kamp di Desa Lubuk Unen Baru tersebut. Upaya warga mendapat hadangan dari ratusan aparat kepolisian dan bentrok pun tak terelakkan.

Menurut catatan Pengurus Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk, insiden itu mengakibatkan sembilan warga sipil tertembak dan sejumlah orang lainnya cidera.

Memang hanya empat orang yang terpaksa dilarikan ke rumah sakit, sisanya berusaha tidak manja dan cukup dibedah di bidan desa untuk mengeluarkan peluru, kata Indra saat ditemui di rumahnya di Desa Komring Kecamatan Merigi Kelindang, Minggu (12/6).

Empat warga yang tertembak dan harus dilarikan ke RSUD M Yunus Bengkulu yakni Marta Dinata, tertembak di perut dan kondisi saaat ini masih kritis di RSUD M Yunus Bengkulu, Yudi mengalami luka tembak di bahu kiri, Alimuan tertembak di lengan kanan, dan Badrin luka tembak di leher dan paha kiri.

Sedangkan lima warga lainnya yang tertembak dan berobat sendiri yakni Indra Jaya luka tembak di paha kiri, Dahir luka tembak di punggung, Put luka tembak di paha kanan, Saiful, luka tembak di dada kiri dan Jaya yang mengalami luka tembak di kaki kanan.

Sehari pascabentrok, suasana di 12 desa terasa mencekam. Ratusan aparat kepolisian disiagakan di sekitar kamp perusahaan PT Citra Buana Selaras yang mendapat izin pengerukan batu bara dengan sistem tertutup di bawah tanah atau "underground".

Suasana di Desa Komring di mana sekretariat Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk berada tak terkecuali. Masyarakat masih was-was dan memilih berdiam di rumah.

Saat sejumlah jurnalis dan perwakilan kelompok masyarakat sipil mendatangi sekretariat itu, pengurus meminta identitas diri untuk memastikan status tamu mereka.

"Kami mohon maaf, karena situasi masih mencekam dan kita belum pernah ketemu maka kami ingin memastikan bahwa teman-teman ini adalah jurnalis dan orang Walhi," kata Hendra, warga lainnya.

Setelah memastikan identitas para jurnalis dan aktivis lingkungan, warga mulai terlihat santai dan beberapa menit kemudian, Nurdin, Ketua Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk juga dihadirkan.



Penolakan tambang

Kehadiran perusahaan tambang batu bara di Kabupaten Bengkulu Tengah yang dimekarkan dari Kabupaten Bengkulu Utara pada 2008 memiliki sejarah cukup panjang.

Pertambangan batu bara tertua di Bengkulu bahkan berada di wilayah ini tepatnya di Kecamatan Taba Penanjung pada 1980-an.

Sementara Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Citra Buana Seraya (CBS), awalnya mengeruk emas hitam itu dengan sistem tambang terbuka diterbitkan pada 2009.

Berdasarkan peta konsesi, lokasi pengeboran berada di wilayah 11 desa di bawah kaki Gunung Bungkuk, yang masuk Kecamatan Merigi Sakti dan Kecamatan Merigi Kelindang.

Desa yang masuk dalam Kecamatan Merigi Sakti yakni Desa Komering, Taba Gematung, Raja Besi, Pagar Besi, Durian Lebar, dan Susup. Sedangkan lima desa lainnya yakni Desa Taba Durian Sebakul, Talang Ambung, Lubuk Unen Baru, Lubuk Unen Lama dan Penembang berada di wilayah Kecamatan Merigi Kelindang.

Setelah sempat terhenti karena persoalan hukum, sejak 2015 perusahaan tersebut kembali beroperasi dengan sistem tambang tertutup atau "underground" dengan luas wilayah konsesi mencapai 2.550 hektare.

Ketua Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk Nurdin mengatakan penolakan terhadap tambang tertutup itu sudah disampaikan warga saat pertemuan dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu pada 2015.

Penyusunan dokumen Analis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang tidak transparan dan informasi tentang dampak pengeboran di bawah tanah yang tidak sampai ke tataran warga membuat penolakan tambang "underground" semakin meluas.

"Informasi yang kami dapat hanya produksi 300 ribu ton batu bara per tahun dan penambangan selama 30 tahun, bisa dibayangkan berapa luas lubang di bawah desa dan kebun kami," kata Nurdin.

Selain itu, wilayah Bengkulu yang rawan gempa bumi, kata Nurdin, juga membuat kekhawatiran warga semakin menjadi-jadi sebab pengeboran dikhawatirkan menganggu kestabilan struktur tanah.

Kecemasan itulah yang mendasari warga menyatakan penolakan terhadap tambang tertutup. Berulangkali warga mendatangi kantor pemerintah daerah setempat untuk menyampaikan tuntutan mereka.

Unjuk rasa terakhir yang diikuti sekira 500 warga berlangsung pada April 2016 di Kantor Pemda Bengkulu Tengah. Warga menilai tidak ada niat baik dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan tersebut sehingga pada Sabtu (11/6) warga nekat mendatangi kamp perusahaan untuk menghentikan aktivitas perusahaan itu dan berujung bentrok dengan anggota polisi.

Nurdin mengatakan insiden yang membuat sejumlah warga tertembak dan luka-luka itu tidak menyurutkan niat mereka memperjuangkan tuntutan hingga izin pertambangan PT CBS dicabut.

Bupati Bengkulu Tengah Fery Ramli saat meninjau terowongan pertambangan di Desa Lubuk Unen Baru mengatakan persoalan izin usaha pertambangan sudah sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Terkait tuntutan warga untuk menutup aktivitas pertambangan itu menurutnya lebih layak dikaji oleh pemerintah provinsi. Ia berharap solusi yang dihasilkan bisa membuat perusahaan beraktivitas dengan lancar dan masyarakat sejahtera.

Fery juga menegaskan bahwa biaya pengobatan korban jatuh akibat bentrok warga dengan aparat kepolisian akan ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah.

Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah Bengkulu Brigjen Pol M Ghufron mengatakan meski sejumlah warga tertembak dalam unjuk rasa di kamp pertambangan itu, anggotanya tidak melanggar prosedur.

"Nanti akan didalami bagaimana kericuhan bisa pecah. Sekarang masih dalam pengumpulan fakta-fakta dan bukti," kata Kapolda.

Insiden itu, kata Kapolda, juga membuat seorang anggota polisi mengalami luka cukup serius akibat bacokan pengunjukrasa.

Sementara Kepala Teknik Tambang PT CBS Danu Andrianto mengatakan insiden itu membuat kegiatan pertambangan dihentikan sementara dan merumahkan 35 orang karyawannya hingga situasi kondusif.

Sebelum unjuk rasa yang berakhir ricuh, lanjut Danu, kegiatan di area pertambangan masih dalam tahap konstruksi terowongan dan baru terealisasi sepanjang 18 meter.

Rencananya terowongan akan dibangun sepanjang 800 meter dan kedalaman pengerukan maksimal 100 meter dengan produksi 10 ribu hingga 15 ribu ton per bulan, ucapnya.

Danu pun menampik kekhawatiran warga terkait longsor dan amblesnya tanah dengan pertimbangan hasil studi geoteknik menyebutkan struktur tanah di wilayah itu memiliki lapisan penutup berupa batu andesit.

Namun, pernyataan ini dibantah oleh warga yang menyebutkan di lokasi pembangunan terowongan sudah terdapat bekas longsoran dan retakan pada tanah.





Sengkarut tambang

Bentrok aparat dengan warga di Bengkulu Tengah yang menyebabkan sembilan warga tertembak mengundang reaksi dari sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu Sony Taurus mengatakan insiden yang menimbulkan korban jatuh di pihak warga dan kepolisian itu hanya satu dari sekian kasus yang berpotensi terjadi di wilayah Bengkulu.

Pasalnya, hasil koordinasi dan supervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sektor tambang menemukan sebanyak 65 IUP di wilayah Provinsi Bengkulu masih bermasalah atau belum berstatus "clean and clear" (CnC/bersih dan jelas).

Permasalahan yang ditemukan mulai dari persoalan administrasi, wilayah konsesi, persoalan lingkungan, hingga finansial atau kewajiban membayar royalti.

Khusus di Kabupaten Bengkulu Tengah, ada enam perusahaan pertambangan yang belum berstatus CnC.

Untuk mengevaluasi perizinan tersebut, pemerintah pusat sudah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM nomor 43 tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kasus PT CBS menjadi gambaran dari karut marut persoalan tambang di Bengkulu dan pemerintah lagi-lagi lalai, kata Soni.

Ia menilai pemerintah daerah cenderung lepas tangan dan membiarkan aparat kepolisian berbenturan dengan masyarakat.

Dalam kasus-kasus konflik sumber daya alam menurut dia, peristiwa serupa sudah sering terjadi sehingga energi dan konsentrasi warga terpecah antara menghadapi proses hukum dan perjuangan mewujudkan aspirasi mereka.

Dalam UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Oleh karena itu, Walhi secara nasional kata dia mendesak pemerintah menghentikan kekerasan terhadap rakyat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik. Sebab, kekerasan terhadap pejuang lingkungan hidup merupakan pengkhianatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). **1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016